TajukPolitik – Demokrasi era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan yang terbaik di ASEAN. Ini tentunya bukan pekerjaan semalam jadi. Butuh kerja sama dari berbagai elemen untuk meningkatkan demokrasi di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru.
Berdasarkan laporan indeks demokrasi 2014 dari rilis The Economist Intelligent Unit (EIU), Indonesia memperoleh skor rata-rata 6,95. Sementara itu, Malaysia pada tahun yang sama hanya memperoleh skor rata-rata 6,49.
Namun di bawah kepemimpinan nasional Joko Widodo (Jokowi), Indonesia justru mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir.
Dalam rilis Laporan Indeks Demokrasi 2020 dari EIU, memperoleh skor sebesar 6,48. Ini merupakan angka terendah dalam rentang waktu 2006-2020. Dengan skor ini, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.
Pemerintahan Jokowi mencoba berbenah. Indeks Demokrasi 2021 yang diluncurkan EIU, awal Februari 2022, menunjukkan skor rata-rata Indonesia pada indeks itu mencapai 6,71.
Akan tetapi, kenaikan ini belum bisa mengulang kesuksesan SBY menjadikan Indonesia sebagai negara terdemokratis di ASEAN. Indonesia masih berada di Malayasia, dan dibayang-bayangi Filipina, selanjutnya Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Laos.
Adapun dari lima indikator yang diukur oleh EIU untuk menentukan indeks demokrasi, skor Indonesia naik pada tiga aspek, yakni dari 7,50 menjadi 7,86. Kebebasan sipil naik dari 5,59 menjadi 6,18. Sementara partisipasi politik naik dari skor 6,11 menjadi 7,22.
Namun, masih ada dua aspek yang masih stagnan dibandingkan tahun lalu. Misalnya, proses elektoral dan pluralisme tak bergerak di skor 7,92. Selain itu, indikator budaya politik juga masih berada di angka 4,38.
Dipo Alam, dalam tulisannya yang berjudul “Refleksi tentang Trias Politica” mengatakan, “di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, kanal-kanal kegelisahan publik memang banyak yang tak berfungsi. Penilaian ini bukan hanya berlaku untuk parlemen, namun juga untuk kanal-kanal non-parlementer. Perguruan tinggi, atau intelektual kampus, misalnya, yang dalam literatur ilmu sosial kita selalu diidealkan untuk berjarak terhadap kekuasaan, agar mereka bisa jernih menangkap realitas sosial, kini justru kian terkooptasi oleh kekuasaan. Hal serupa juga terjadi pada gerakan mahasiswa. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, kita melihat gerakan mahasiswa tak lagi aktif seperti pada peri-ode-periode sebelumnya”.
Kondisi ini jauh berbeda dengan 10 tahun kepemimpinan SBY. Dukungan partai-partai kepada pemerintah tidak pernah menyurutkan fungsi check and balances lembaga perwakilan rakyat.
Artinya, keterlibatan partai-partai dalam mendudukkan wakilnya di pemerintahan, tidak membuat mereka menyensor kader-kadernya yang duduk di DPR. Inilah yang telah membuat mekanisme check and balances tetap terjaga dalam dua periode pemerintahan Presiden SBY.