TAJUKNASIONAL.COM – Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno, menegaskan perlunya kajian menyeluruh terkait keekonomian proyek hilirisasi batu bara untuk produksi DME, sebelum Pemerintah menggantikannya dengan LPG 3 kg yang saat ini disubsidi.
“Jangan sampai produk yang kita hasilkan justru lebih mahal dibandingkan produk yang kita gunakan sekarang,” ujar Eddy dalam rapat dengar pendapat bersama Dirut PT Bukit Asam.
Eddy Soeparno menyampaikan beberapa poin penting:
- Harga keekonomian LPG 3 kg sekitar Rp 50.000, namun masyarakat hanya membayar Rp 14.000 karena disubsidi hingga Rp 36.000.
- DME yang diproduksi diestimasi memiliki biaya sekitar USD 900 per kiloliter, jauh lebih tinggi dari LPG impor yang hanya USD 435–450 per kiloliter.
- Pengalaman studi ke fasilitas Air Products di Arizona menunjukkan proyek DME tidak layak secara ekonomi, bahkan dibandingkan dengan tetap mengimpor LPG.
Eddy menyarankan:
- Meningkatkan produksi LPG dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor (saat ini 65–70% LPG masih impor).
- Pemerintah perlu terobosan teknologi atau efisiensi produksi agar DME bisa bersaing.
- Perlu kajian dampak sosial dan inflasi jika subsidi LPG dialihkan atau dicabut, khususnya terhadap daya beli masyarakat.
Eddy juga meminta kejelasan terkait:
- Harga jual gas sintetik dari DME ke PLN (offtaker).
- Pembanding keekonomian tarif listrik dari waste-to-energy yang berada di kisaran 18–20 sen USD per kWh.
- Apakah harga DME akan kompetitif jika digunakan untuk kelistrikan nasional, bukan hanya sebagai pengganti LPG.
Eddy Soeparno tidak menolak hilirisasi batu bara atau pembangunan proyek energi alternatif, namun mengingatkan bahwa keputusan strategis seperti substitusi LPG harus berdasarkan hitung-hitungan ekonomi yang jelas dan realistis, serta mempertimbangkan dampak fiskal dan sosial.