TajukNasional Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, mendukung pemikiran pengamat olahraga M. Nigara terkait pembagian pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) menjadi dua jenis: PON Olimpiade dan PON Rekreasi. Usulan ini muncul dalam acara talk show Catatan Demokrasi di sebuah stasiun televisi swasta pada Selasa (17/9), yang juga dihadiri oleh Dede Yusuf dan Exco PSSI, Arya Sinulingga. Diskusi tersebut menyoroti berbagai masalah yang terjadi pada PON XXI Aceh-Sumut 2024, termasuk fasilitas yang belum selesai serta ketidakadilan dalam pertandingan.
M. Nigara mengusulkan agar PON diadakan setiap dua tahun sekali dengan pemisahan fokus: PON Olimpiade untuk cabang olahraga prestasi dan PON Rekreasi untuk olahraga rekreasi. “Kedepannya, saya berharap PON dibagi menjadi dua. Selain itu, tempat penyelenggaraan harus di daerah yang sudah memiliki fasilitas olahraga lengkap, sehingga tidak perlu membangun infrastruktur baru yang akhirnya tidak dimanfaatkan setelah acara selesai,” jelas Nigara.
Nigara menyoroti sejumlah daerah bekas tuan rumah PON yang gagal memanfaatkan fasilitas olahraga setelah ajang tersebut. “Kita bisa lihat di Riau, Kalimantan Timur, dan Papua, bagaimana nasib venue-venue mereka sekarang. Jumlah anggaran yang besar terbuang sia-sia karena fasilitas tidak digunakan lagi,” tambahnya.
Ia juga menyatakan bahwa PON harus menjadi batu loncatan bagi atlet untuk melangkah ke SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade. Namun, fenomena adanya atlet yang berulang kali mengikuti PON, bahkan hingga lima kali, menunjukkan bahwa fungsi PON sebagai ajang pengembangan atlet tidak berjalan sesuai harapan.
Lebih lanjut, M. Nigara menekankan bahwa PON harus menjadi alat pemersatu bangsa, bukan pemecah. Ia berharap penyelenggaraan PON dapat memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat setempat, bukan menyisakan masalah pasca acara. “PON itu adalah alat pemersatu bangsa. Yang terpenting, seluruh elemen masyarakat dapat merasakan manfaatnya, termasuk pertumbuhan ekonomi di sekitar wilayah penyelenggaraan,” tuturnya.
Menanggapi hal ini, Dede Yusuf setuju dengan gagasan pembagian PON dan menekankan bahwa fokus pelaksanaan PON tidak harus selalu pada acara besar empat tahunan. “Saya sepakat dengan Bang Nigara. Untuk versi olimpiadenya, bisa tetap empat tahunan, namun versi nasionalnya, yang mencakup banyak cabang olahraga, bisa dilakukan dua tahun sekali. Ini penting untuk menghidupkan event-event olahraga sehingga para atlet dapat terus berlatih dan berkompetisi,” ujar Dede.
Dede juga mengkritik alokasi anggaran yang selama ini lebih banyak dihabiskan untuk penyelenggaraan acara besar, bukan untuk pengembangan atlet. “Kita tidak boleh hanya mengejar satu event besar yang menghabiskan triliunan rupiah, sementara pembinaan atlet kurang diperhatikan. Hal ini seringkali berakhir dengan masalah hukum,” tambahnya.
Dede Yusuf menekankan bahwa Komisi X DPR RI telah membuat Undang-Undang Keolahragaan yang berfokus pada Desain Besar Olahraga Nasional (DBON). Dalam undang-undang tersebut, negara wajib membiayai cabang olahraga olimpiade, yaitu 14 cabang utama dan 3 cabang favorit. “Kami harus fokus menemukan bibit-bibit baru yang bisa naik ke tingkat SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade,” jelas Dede.
Selain itu, menurutnya, setiap daerah diwajibkan memiliki minimal dua cabang olahraga unggulan yang menjadi fokus dalam Desain Olahraga Daerah (DOD), sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Keolahragaan. Dengan demikian, pembinaan olahraga di daerah akan lebih terarah dan sistematis.
Dede Yusuf optimistis bahwa dengan reformasi ini, PON dan olahraga di Indonesia akan semakin berkembang, tidak hanya dari segi prestasi, tetapi juga dari sisi manfaat sosial dan ekonomi.