Tajukpolitik – Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, mengatakan pasal penghinaan presiden dan pejabat negara yang masuk dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai tak adil kalau tidak ada norma yang bisa mengatur jeratan terhadap pejabat negara yang menyebarkan berita bohong atau hoaks.
Menurutnya, salah satu yang menimbulkan pertanyaan adalah tingkat urgensi pasal penghinaan presiden. Sebabnya, muncul persepsi dari masyarakat terkait dengan pasal ini, digunakan untuk menjegal kritik-kritik terhadap pemerintah.
“KUHP ini kontroversi, bisa dibekukan. Menurut petinggi DPR ini atas inisiasi pemerintah. Pertanyaan saya, untuk siapa KUHP dibuat? Untuk asing, oligarki, atau rakyat?” tegas Jerry.
Oleh karena itu, doktor ilmu komunikasi politik lulusan America Global University ini memandang tidak adil bagi rakyat jika ada pembatasan penyampaian aspirasi terhadap presiden dan pejabat negara.
Sementara, kata Jerry, pejabat negara sekelas presiden hingga para menterinya kebal dengan hukum ketika informasi yang disampaikannya tidak berlandaskan pada nilai-nilai akademik.
Sebagai contoh, lanjutnya, soal informasi lelang Kepulauan Widi yang beredar di laman asal Amerika Serikat, Sotheby’s Concierge Auctions, Menteri Dalam Negeri justru beralibi bahwa hal itu adalah untuk menarik investor.
Padahal, tambahnya, berdasarkan ilmu ekonomi, mekanisme yang dapat digunakan untuk menarik investor adalah penyertaan modal dengan memasarkannya di bursa atau melalui perusahaan sekuritas.
“Maka seharusnya UU pejabat publik, mulai dari presiden sampai DPR jika berbohong atau sebar hoax, berbicara tak jujur dan sesuai fakta, bisa dipidana maksimal 5 tahun denda Rp 1 miliar,” pungkasnya.