Pencabutan izin itu menyasar empat dari lima perusahaan tambang di pulau-pulau kecil Raja Ampat: PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Sementara PT GAG Nikel tidak dicabut karena dianggap masih memenuhi syarat lingkungan hidup dan tata kelola.
Meski begitu, Evita mengingatkan bahwa status “patuh” tidak berarti bebas dari pengawasan.
“Izin boleh tetap, tapi pengawasan harus diperketat. Jangan sampai pelanggaran terulang karena lemahnya kontrol lapangan,” tegasnya.
Evita menyoroti pendekatan industrialisasi yang dinilainya terlalu menitikberatkan pada sektor ekstraktif. Menurutnya, hilirisasi mineral tidak seharusnya dilakukan dengan mengorbankan kawasan yang punya potensi ekonomi dan ekologi jangka panjang seperti Raja Ampat.
“Ironis. Di luar kita bicara hilirisasi berkelanjutan, tapi di dalam kita babat habis kawasan konservasi. Ini bukan hanya kesalahan kebijakan, tapi juga blunder strategis,” ucapnya.
Berdasarkan data dari Greenpeace, eksplorasi tambang nikel di kawasan Raja Ampat telah menghilangkan lebih dari 500 hektare hutan alami. Evita menyayangkan kerusakan itu terjadi di wilayah yang telah lama menjadi destinasi wisata kelas dunia.
“Raja Ampat itu brand global. Potensinya bukan sekadar eksotik, tapi memberi kontribusi langsung ke rakyat. Tahun 2020 saja, pariwisata menyumbang lebih dari Rp 7 miliar ke PAD. Itu di masa pandemi, lho,” jelasnya.
Evita mengingatkan bahwa mengejar investasi tambang tak boleh mengorbankan potensi lestari yang lebih menguntungkan dalam jangka panjang.
“Jangan gadaikan masa depan pariwisata demi keuntungan segelintir pihak dari proyek tambang,” pungkasnya.