“Saya miris mendengar lulusan dari universitas ternama seperti UGM dan UI harus mengulang uji kompetensi hingga tujuh sampai sepuluh kali. Ini bukan hanya mencoreng nama institusi, tapi juga menunjukkan ada masalah serius dalam sistem pendidikan kedokteran kita,” ungkap Irma Suryani.
Ia menekankan perlunya pengawasan lebih ketat dari Ditjen Dikti terhadap pemberian izin pendirian fakultas kedokteran maupun lembaga pendidikan tenaga kesehatan lainnya. “Jangan sembarangan memberi izin kepada institusi abal-abal yang menghasilkan lulusan tak kompeten. Ketika dikirim ke luar negeri, mereka ditolak. Ini mencoreng nama bangsa,” tambahnya.
Dalam hal kesejahteraan tenaga medis, Irma juga memperjuangkan hak-hak peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang selama ini dinilai belum mendapat perhatian layak. Ia mendorong pemerintah memberikan kompensasi yang adil serta menyusun kontrak kerja yang jelas antara PPDS dan rumah sakit.
“Mereka bekerja keras, tapi hanya dianggap pelajar. Padahal mereka ikut berjibaku dalam pelayanan pasien. Harus ada gaji, dan kontrak kerja yang fair. Di situ bisa kita kontrol juga etika kerjanya,” ujarnya.
Lebih jauh, Irma Suryani menyatakan dukungannya terhadap inisiatif tes kesehatan jiwa berkala bagi dokter. “Kesehatan dokter adalah prasyarat untuk memberikan layanan yang aman kepada pasien. Jika dokter tidak sehat secara mental, ini bisa berisiko pada keselamatan pasien,” pungkasnya.
Komisi IX menegaskan bahwa reformasi dalam dunia pendidikan kedokteran dan pembinaan profesi kesehatan tidak bisa ditunda. Sistem yang transparan, adil, dan akuntabel adalah kunci untuk memastikan mutu layanan kesehatan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia.
