Sementara itu, pada Agustus, Prive Group resmi menutup semua restorannya, menambah daftar panjang bisnis kuliner yang tak mampu bertahan.
Baca Juga: Krisis Teluk Memanas, Saudi–Qatar Bersatu Kecam Agresi Israel ke Doha
Biaya Sewa dan Tekanan Pasar
Menurut pengamat dan pelaku bisnis kuliner, faktor utama yang memicu fenomena ini adalah biaya sewa yang semakin tinggi di Singapura.
Hal tersebut juga diakui oleh banyak pemilik restoran, termasuk Ka-Soh.
“Bahkan restoran yang paling sehat sekalipun sulit bertahan saat ini,” ujar mantan pemilik restoran Chua Ee Chien.
Ia menambahkan bahwa tidak sedikit restoran ternama, termasuk dua yang tercatat dalam Michelin Guide Singapura, akhirnya harus tutup karena tekanan biaya dan ketatnya persaingan.
Selain biaya sewa, kenaikan harga bahan baku, persaingan ketat dengan layanan makanan berbasis digital, serta perubahan pola konsumsi masyarakat turut memperparah kondisi.
Baca Juga: Prabowo Bertemu Raja Abdullah II di Yordania Bahas Krisis Kemanusiaan Gaza
Dampak Lebih Luas
Fenomena gulung tikar ini dikhawatirkan akan berdampak pada keberagaman kuliner Singapura, yang selama ini menjadi daya tarik wisata.
Restoran legendaris yang menyajikan cita rasa otentik berpotensi hilang, digantikan oleh usaha baru yang belum tentu mampu bertahan lama.
Hingga kini, pemerintah Singapura terus memantau situasi ini. Namun, pelaku usaha berharap adanya intervensi kebijakan, terutama terkait regulasi biaya sewa dan dukungan finansial bagi bisnis kuliner kecil hingga menengah.
Baca dan Ikuti Media Sosial Tajuk Nasional, KLIK DISINI