Oleh: Beta Perkasa Dosen FEB-UHAMKA, Jakarta
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Peribahasa ini sangat cocok dengan kondisi perekonomian global terkini. Pandemi Covid yang membuat pertumbuhan ekonomi global anjlok dan kantong sejumlah negara tekor, kini diperparah dengan dampak perang Rusia-Ukraina. Perang ini memicu kenaikan harga energi dan pangan dunia yang menyebabkan inflasi tinggi di sejumlah kawasan.
Inflasi sekarang dipicu kurangnya pasokan energi yang sangat dibutuhkan dalam proses produksi dan distribusi. Ketika harga energi melonjak, maka biaya produksi dan distribusi juga naik. Jenis inflasi ini disebut cost-push inflation, yaitu inflasi yang dipicu oleh kenaikan biaya produksi kemudian berdampak terhadap naiknya harga.
Harga barang naik menyebabkan penjualan barang menurun sehingga pendapatan perusahaan juga menurun. Akibatnya, kondisi ini bisa memicu gelombang PHK. Cost-push inflation kerap menggiring perekonomian menuju gerbong stagflasi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang rendah diiringi dengan inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi.
Serangan tajam ke ekonomi global masih belum berhenti. Untuk mengurangi inflasi tinggi di dalam negeri, sejak Maret lalu Amerika Serikat terus menaikkan suku bunga acuan The Fed sampai lima kali tahun ini. Terakhir The Fed menaikkan suku bunga acuan di kisaran 3%-3,25% pada 21 September 2022. Kenaikan suku bunga ini akan menarik dana besar-besaran ke negeri Paman Sam sehingga menekan nilai mata uang negara lain. Kondisi ini memaksa banyak negara untuk menaikkan suku bunga juga sehingga menambah biaya kredit.
Ujian Berat
Kondisi perekonomian global sekarang menjadi ujian berat terutama bagi negara-negara berkembang yang masih rentan. Pada Juli 2022, sejumlah negara berkembang sudah mengalami inflasi yang mencekik seperti Iran 42.9%, Argentina 83%, Sri Lanka 60,8%, Turki 83.5%. Harga barang terutama pangan dan energi di negara-negara tersebut serentak melonjak.
Inflasi yang melonjak tajam akan mengancam stabilitas politik suatu negara. Rakyat marah dengan rezim yang berkuasa lantaran tidak bisa mengendalikan harga. Akibatnya, gelombang protes dan demonstrasi sulit terelakkan. Tekanan publik mendesak rezim agar mengambil kebijakan untuk menurunkan harga. Jika harapan masyarakat belum terpenuhi gejolak politik akan terus melanda suatu negara.
Sri Lanka menjadi korban pertama inflasi tinggi pada tahun ini. Sebenarnya sejak Januari 2022, inflasi di Sri Lanka sudah di atas 10%. Perang Rusia dan Ukraina membuat inflasi di Sri Lanka melonjak di atas 20% pada Maret hingga menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa pada bulan Juli ketika inflasi mencapai 60,82%. Turunnya rezim lama belum membuat inflasi jinak, malah pada September inflasi masih merangkak ke angka 69,8%.
Lebanon memiliki angka yang lebih parah. Pergerakan inflasi sudah liar sejak awal tahun ini hingga 239.68%. Pandemi Covid membuat perekonomian Lebanon terseok-seok Gelombang protes sudah sejak Agustus tahun lalu yang membuat Perdana Menteri Hassan Dian harus lengser. Rezim yang baru tetap sulit menurunkan angka inflasi. September lalu inflasi Lebanon masih menggila di angka 162.47%. Kini Lebanon sudah menjadi pasien IMF.
Virus inflasi yang melonjak tajam tidak hanya di negara-negara berkembang, namun juga melanda negara maju. Sejak Oktober, daratan Eropa mulai bergolak. Gelombang unjuk rasa memprotes pemerintah, Uni Eropa dan NATO meledak juga di Prancis, Cekoslovakia, Jerman, Belgia dan Spanyol. Inflasi di negara-negara Uni Eropa biasanya hanya sekitar 1-3% dalam tiga dekade terakhir, kini melonjak di atas 5% karena perang. Bahkan di Inggris, Belgia dan Cekoslovakia inflasi meroket hingga 10%, 12% dan 18%. Rakyat Eropa berontak lantaran kenaikan harga biaya hidup seperti BBM , makanan dan listrik.
Inggris menjadi korban pertama dari inflasi tinggi di Eropa. Stabilitas politik Inggris goyah dengan desakan mundur mantan Perdana Menteri Liz Truss. Meski baru berkuasa selama 45 hari, Truss terpaksa harus lengser lantaran krisis ekonomi yang terus berlanjut setelah dia berkuasa dan kesalahan formulasi kebijakan fiskal. Rishi Sunak yang berdarah India kini menggantikan posisi Truss. Bukan tidak mungkin, stabilitas politik di negara Eropa lainnya juga akan terganggu bahkan bergolak kencang lantaran inflasi tinggi.
Transisi Politik
Berdasarkan besaran inflasi, Boediono (1985) membagi jenis inflasi menjadi inflasi ringan (< 10%), inflasi sedang (10-30%), inflasi berat (30-100%), dan inflasi sangat berat (>100%). Inflasi sedang sudah cukup berbahaya dan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Perekonomian kacau dimulai biasanya ketika inflasi di atas 30%. Rakyat sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pada rubrik opini di Wall Street Journal Oktober 2021, Holman W. Jenkins menyebut “Inflation is the mother of Big Political Change”. Jika inflasi sudah melonjak tajam, siapa pun rezim yang berkuasa didesak untuk mengambil kebijakan yang berani, Bisa saja kebijakan mainstream jangka pendek dengan angka yang lebih besar. Atau, kebijakan struktural jangka panjang yang non-populis. Mau tidak mau, kebijakan pada fase ini akan menyakitkan status quo agar rezim bisa meraih kepercayaan dari rakyat.
Inflasi tinggi dengan ketidakstabilan politik memiliki hubungan resiprokal. Inflasi tinggi menyebabkan ketidakstabilan politik, begitu juga sebaliknya, ketidakstabilan politik bisa menyebabkan inflasi tinggi. Palman (1987) menemukan hubungan yang kuat antara inflasi dan ketidakstabilan politik di delapan negara Amerika Latin selama periode 1946-83. Rezim sipil yang lemah dengan inflasi tinggi mudah dikudeta oleh rezim militer. Palman bahkan memberikan presisi bahwa inflasi dua digit bisa menurunkan dukungan ke pemerintah sebesar 3-7%.
Aisen and Vega (2007) mengambil sampel 160 negara selama periode 1960-1999. Negara dengan volatilitas inflasi yang tinggi cenderung memiliki inflasi yang tinggi juga. Volatilitas inflasi tinggi ini disebabkan oleh politik dan faktor institusi (kelembagaan). Bank Sentral yang tidak independen dan kebebasan ekonomi yang rendah akan menciptakan volatilitas inflasi yang tinggi. Perubahan kabinet (reshuffle) juga bisa menaikkan inflasi. Frekuensi reshuffle kabinet yang sering cenderung akan membuat inflasi semakin bergejolak. Sebab, publik memiliki persepsi bahwa reshuffle kabinet yang sering menunjukkan adanya ketidakstabilan politik.
Jika inflasi masih sulit dikendalikan dengan gejolak politik yang tinggi biasanya akan terjadi transisi politik yang “tidak normal”. Rezim yang berkuasa dipaksa harus lengser sebelum periode berakhir. Dalam sejarah, transisi politik yang tidak normal kerap disertai dengan gelombang protes, kerusuhan sosial, perpecahan politik bahkan pertumpahan darah. Indonesia pun pernah mengalami kondisi serupa di tahun 1998 ketika inflasi melonjak sekitar 60% yang memaksa Soeharto harus lengser.
Kini serangan inflasi tinggi sulit dihindari oleh semua negara. Perekonomian global yang terintegrasi membuat semua kawasan terkena dampak inflasi tinggi ini terutama di sektor energi dan pangan. Ketahanan ekonomi setiap negara sekarang mendapat ujian berat. Jika suatu negara tidak bisa menjinakkan inflasi tinggi maka stabilitas politik menjadi taruhannya.
Sumber: Detik.com