TajukPolitik – Sekretaris Bakomstra DPP Partai Demokrat Hendri Teja menyebut, pernyataan Politikus PDIP Adian Napitupulu yang menyatakan era Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih berpihak kepada rakyat adalah logika yang sesat.
Hal ini menanggapi pernyataan Adian Napitupulu yang menyebut zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, angka kenaikan BBM bersubsidi lebih besar daripada Presiden Jokowi.
Hendri Teja menjelaskan, kenaikan BBM era SBY sangat tergantung harga minyak mentah dunia. Jika harga minyak mentah dunia naik, harga BBM naik, dan begitu sebaliknya.
“Makanya, era SBY pernah menurunkan harga BBM premium hingga Rp 4.500 ketika harga minyak mentah dunia turun. Sementara pada Juli 2008, ketika harga minyak mentah dunia meroket sampai USD 128,08 per barel, SBY mampu mempertahankan harga BBM Premium di angka Rp 6.000,” kata Hendri kepada wartawan, Kamis (8/9/2022).
Selanjutnya, bandingkan dengan era Jokowi yang mematok harga BBM Pertalite pada kisaran Rp 7.450-Rp 8.400 pada 2015-2018, padahal saat itu harga minyak dunia sedang nyungsep-nyungsepnya.
“Misalnya, pada Januari 2016, harga minyak mentah dunia jatuh ke titik terendah yaitu USD 27,02 per barel, tapi harga BBM Pertalite tetap dipatok Rp7.900.”
“Bisa anda bayangkan? Harga minyak mentah dunia lebih murah USD 100 dollar dari era SBY, tapi harga BBM era Jokowi justru lebih mahal Rp 1.900,” ujarnya.
Kemudian, jika mengacu pada UMP Jakarta 2013, ketika Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan menolak kenaikan BBM, pemerintahan SBY telah menetapkan peraturan terkait kebutuhan hidup layak sehingga UMP 2012 ke 2013 bisa naik 44%.
“Bandingkan dengan kenaikan BBM tahun ini di mana UMP Jakarta 2022 cuma tumbuh 0,8% dari 2021. Tragisnya, setelah Anies merevisi UMP 2022 Jakarta sebesar 5,1 persen, dia malah digugat ke pengadilan,” katanya.
Terkait pembubaran Petral yang dibanggakan oleh Adian, kata dia, itu tak berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat.
Anggota DPR dari fraksi PDIP Adian Napitupulu meminta kader Partai Demokrat belajar matematika dan sejarah lebih dahulu sebelum mengkritik kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Menurutnya, kader Partai Demokrat perlu belajar matematika dan sejarah agar bisa membuat perbandingan yang logis.
“Saya menyarankan agar kader Demokrat untuk bisa belajar matematika dan belajar sejarah, sehingga jika membandingkan maka perbandingan itu logis tidak anti logika dan ahistoris,” kata Adian kepada wartawan, Rabu (7/9).
Ia mengatakan kenaikan harga BBM di era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih banyak dibandingkan kenaikan harga BBM di era Presiden Joko Widodo.
“Di era SBY total kenaikan harga BBM [jenis] Premium Rp4.690, sementara di era Jokowi total kenaikan BBM jenis Premium atau Pertalite Rp3.500. Jadi SBY menaikkan BBM lebih mahal Rp1.190 dari Jokowi,” ucap Adian.
Dia pun menyampaikan bahwa terdapat selisih kemampuan upah membeli BBM yang terjadi di era SBY dan Jokowi sebesar 126 liter. Menurut Adian, upah pekerja setiap bulan di era Jokowi senilai dengan 464 liter BBM.
“Di era SBY upah minimum, contoh DKI Rp2,2 juta untuk 2013. Dengan BBM harga Rp6.500 per liter maka upah satu bulan hanya dapat 338 liter perbulan.
“Di era Jokowi hari ini BBM Rp10 ribu, tapi upah minimum Rp4.641.000 per bulan,” sambungnya.
Dia juga berkata, ‘mafia’ yang terorganisir dan masif masih ada di era SBY, yakni Petral yang embrionya sudah ada sejak awal Orde Baru tepatnya 1969 dan beroperasi mulai 1971