Ia mengusulkan penerapan sistem pemilu campuran, yakni kombinasi antara sistem distrik tunggal (single-member district) dan sistem proporsional tertutup. Menurutnya, pendekatan ini bisa menjadi solusi seimbang antara representasi individu dan penguatan peran partai.
“Sistem campuran memungkinkan pemilih mengenal wakilnya secara langsung tanpa mengorbankan peran ideologis partai. Ini juga bisa menekan biaya politik dan potensi politik transaksional,” jelas Titi.
Sementara itu, analis politik dari Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengingatkan bahwa proses revisi UU Pemilu akan sarat dengan dinamika kepentingan antar partai politik, terutama dalam koalisi pemerintahan.
“Revisi undang-undang ini bukan sekadar soal teknis, tapi juga soal pertarungan kepentingan. Setiap partai punya preferensi sendiri, tergantung strategi elektoral mereka,” ujar Burhanuddin.
Dengan berbagai pandangan yang muncul, revisi UU Pemilu dinilai bukan hanya agenda hukum dan politik, tapi juga uji komitmen elite terhadap kualitas demokrasi jangka panjang.