Minggu, 23 Februari, 2025

Standar Ganda MK Tolak Gugatan Presidential Threshold, Tapi Terima Gugatan Sistem Pileg

TajukPolitik – Akademisi jebolan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ray Rangkuti menilai MK tidak berhak menerima gugatan uji materiil norma sistem Pileg dalam UU Pemilu.

“MK punya potensi tidak adil dalam proses persengketaan (uji materiil norma dalam Undang-Undang). Pakai standar ganda,” tuturnya.

Menurutnya, banyak contoh kasus yang bisa menggambarkan kekeliruan MK dalam memutus satu perkara uji materiil undang-undang.

“Misalnya soal presidential threshold, selalu mereka tolak karena dianggap itu open legal policy. Sudah puluhan kali itu ditolak,” katanya menjabarkan.

Oleh karena itu, Ray Rangkuti merasa aneh jika MK mengubah sistem Pileg menjadi tertutup lewat putusan uji materiil undang-undang.

“Karena sebetulnya mau terbuka atau tertutup itu pilihan. Sebab prinsip di pemilu kita itu bukan terbuka tertutupnya, tetapi proporsional atau distrik. Seharusnya disitulah masuknya MK, mana yang lebih tepat,” urainya.

“Sekarang kan kita pakai sistem proporsional. Model proporsional ada dua, terbuka dan tertutup. Jadi itu turunan sebetulnya. Karena itu turunan, maka sudah masuk wilayah open legal policy,” demikian Ray Rangkuti menambahkan.

Integritas Mahkamah Konstitusi (MK) dipertanyakan, lantaran putusan perkara uji materiil norma sistem pemilihan legislatif (Pileg) bocor di publik, dan disinyalir hasilnya mengubah dari terbuka menjadi tertutup.

“Kalau MK sampai membatalkan atau mengubah itu tingkat kekeliruan yang besar,” ujar pengamat politik Ray Rangkuti, Selasa (30/5).

Partai Demokrat mempertanyakan fungsi dan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penguji materi Undang-undang.

Pasalnya, sebanyak delapan fraksi yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Demokrat, PKB, PKS, PPP dan PAN kompak mendorong Pileg 2024 dilaksanakan secara terbuka.

“Ada muatan politik apa dengan situasi ini? ini yang tentu harus terang benderang lagi kepada publik,” kata Kepala Badan Pembinaan Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan, Partai Demokrat Herman Khaeron kepada Kantor Berita Politik RMOL saat dihubungi, Minggu (28/5).

Anggota Komisi VI DPR RI ini menuturkan jika MK memutuskan untuk memilih sistem proporsional tertutup maka demokrasi di Indonesia akan mundur ke belakang. Padahal, saat ini sistem kepemiluan di Indonesia sudah dinyatakan selangkah lebih maju.

“Secara demokratis memberikan jaminan bahwa yang dipilih adalah betul-betul aspirasi rakyat, nah sekarang dibuat mundur lagi,” imbuhnya.

Herman mengaku aneh Mahkamah Konstitusi yang domainnya hanya penguji undang-undang bisa menetapkan sebuah aturan atau undang-undang pemilu.

“Yang menjadi aneh, karena domain penyusunan Undang-undang itu kan presiden dengan DPR, kemudian ada domain dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk menguji UU, bertentangan atau tidak dengan UUD 1945,” katanya.

“Nah ini kan menjadi aneh, terbuka tertutup ini kan bukan bertentangan dengan UUD 1945,” lanjutnya.

- Advertisement -spot_imgspot_img
Berita Terbaru
- Advertisement -spot_img
Berita Lainnya
Rekomendasi Untuk Anda
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini