TajukPolitik – Pengamat komunikasi politik menanggapi pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengaikan elektabilitas Anies Baswedan dengan kemenangan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Sebab saat ini kepopuleran Bacapres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan itu kalah dibandingkan dua capres lainnya.
Dua pesaing mantan Gubernur DKI Jakarta itu yakni Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Meski kalah dari dua kandidat lainnya, Jusuf Kalla optimis Anies Baswedan akan menang di Pilpres 2024 mendatang.
Keyakinan itu disampaikannya berkaca dari Pilkada DKI Jakarta pada 2027 silam.
Jamiluddin Ritonga, Pengamat Komunikasi Politik menanggapi pernyataan Jusuf Kalla itu.
Dia mengatakan bahwa JK memiliki alasan yang kuat untuk mengaikan Anies Baswedan dan Donald Trump soal survei elektabilitas.
Alasan itu yakni bahwa survei tidak melulu harus dijadikan patokan dalam pemilihan.
Optimisme JK beralasan karena hasil survei kerap sekali meleset. Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain,” kata Jamiluddin dalam keterangannya, Selasa (1/8/2023).
Tak hanya itu, Jamiluddin juga menilai bahwa hasil survei hanya bisa digunakan saat beberapa waktu usai periode penelitiannya dilakukan.
Dalam kata lain, tidak wajar jika digunakan untuk memprediksi hasilnya ke depan.
“Hal itu terjadi karena pendapat umum itu sangat dinamis. Pendapat seseorang dapat berubah-ubah tergantung isu yang menerpa objek atau sosok yang dinilai,” kata dia.
Tak hanya itu, penilaian survei juga kerap kali diberikan oleh responden yang hanya melihat pada sisi objek yang dinilai.
Dimana kata Jamiluddin, jika ada satu objek yang pada saat dilakukannya survei sedang diterpa suatu isu, maka hasil surveinya akan berpengaruh pada tingkat elektabilitas.
“Kalau isu megenai objek atau sosok yang dinilai cenderung positif, maka elektabilitasnya akan berpeluang tinggi. Sebaliknya, kalau isu menerpa objek atau sosok banyak negatifnya, maka elektabilitas berpeluang akan turun,” beber dia.
Atas hal itu menurut Jamiluddin, hasil survei yang selama ini beredar wajar dijadikan oleh JK alasan untuk nantinya Anies Baswedan bisa tetap memenangkan Pilpres.
Pada hasil survei juga kata Jamiluddin, kerap mengalami kesalahan dalam penetapan sampel atau contoh penelitian.
Kesalahan itu berkaitan dengan penetapan karakteristik dan jumlah sampel.
“Bisa jadi karakteristik sampel yang diambil tidak menggambarkan karakteristik pemilih (populasi). Akibatnya, karakteristik sampel tidak merepresentasikan karakteristik pemilih (populasi),” ucapnya.
Terlebih, penetapan jumlah sampel atau responden dalam survei kebanyakan terhitung sangat sedikit.
Bahkan kata dia, jumlahnya hampir tidak mewakili seluruh jumlah masyarakat Indonesia
“Selain itu, jumlah sampel yang diteliti juga akan menentukan presisinya. Kalau jumlah sampel 1.200 dan pemilihnya 205 juta, maka presisinya rendah,” kata dia
Lebih lanjut, faktor lain juga bisa mempengaruhi hasil survei itu sendiri. Termasuk adanya ‘by order’ atau pesanan yang memberikan sponsor untuk menargetkan keunggulan di hasil survei.
“Dalam situasi demikian, lembaga survei tidak lagi menjadi peneliti. Ia sudah berubah menjadi tim sukses yang mengemas hasil surveinya untuk kepentingan sponsor atau capres tertentu,” tukas Jamiluddin.
Atas hal itu, dinilai wajar jika JK kata Jamiluddin merasa optimistis dengan membandingkan elektabilitas Anies Baswedan dengan kemenangan Donald Trump.
Sebelumnya, Jusuf Kalla menanggapi perihal masih rendahnya elektabilitas Bacapres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan.
JK menyinggung kemenangan Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS) Donald Trump, meski memiliki elektabilitas yang rendah.
“Trump juga rendah sekali elektabilitasnya menurut para peneliti,” kata JK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (31/7).