Irawan juga mengingatkan bahwa perbandingan dengan TNI/Polri dalam hal batas usia pensiun tidak dapat disamakan begitu saja, mengingat pola rekrutmen, jenis pekerjaan, dan karakteristik kepegawaian yang berbeda, termasuk keberadaan dua kategori ASN saat ini: PNS dan PPPK.
“Apakah usulan ini berlaku untuk semua ASN? Termasuk PPPK? Itu harus dikaji lebih dalam. Apalagi rekrutmen ASN tidak seragam, dan durasi masa kerjanya pun bervariasi,” katanya.
Ia pun menyoroti pentingnya reformasi menyeluruh terhadap sistem manajemen ASN, termasuk perbaikan data kepegawaian, transparansi promosi, serta penguatan sistem meritokrasi.
“Kalau datanya saja masih belum akurat, bagaimana kita bisa mengambil keputusan soal usia pensiun yang berdampak nasional?” tambahnya.
Lebih jauh, Irawan memperingatkan bahwa semakin lamanya seorang ASN menjabat tanpa rotasi atau regenerasi, maka potensi moral hazard juga akan meningkat, sementara produktivitas bisa menurun.
“Kalau orang terlalu lama di satu jabatan, bukan hanya regenerasi yang mandek, tapi juga bisa muncul masalah etika dan penurunan performa,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa penguatan birokrasi bukan hanya soal memperpanjang usia kerja, melainkan tentang kualitas pelayanan, efisiensi kerja, dan inovasi dalam melayani masyarakat.
“Peremajaan ASN itu bukan soal usia semata, tapi menyangkut keberlanjutan dan daya saing birokrasi ke depan,” pungkasnya.