TajukNasional Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, mengusulkan agar tiga Kepolisian Daerah (Polda) di Indonesia dijadikan sebagai model percontohan untuk penerapan restorative justice.
Usulan ini disampaikan dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo beserta jajaran pada Senin (11/11) di Kompleks Parlemen, Jakarta. Menurut Hinca, pendekatan restorative justice ini sangat relevan untuk diterapkan dalam penanganan perkara hukum di berbagai wilayah yang memiliki karakteristik masyarakat berbeda-beda.
“Melihat dari 34 Polda yang ada, saya mengusulkan untuk memilih tiga Polda, satu di wilayah Barat, satu di Tengah, dan satu di Timur, sebagai percontohan penerapan restorative justice,” ujar Hinca dalam rapat tersebut.
1. Polda Jawa Timur: Model Restorative Justice di Wilayah Tengah
Hinca mengajukan Polda Jawa Timur (Jatim) sebagai percontohan untuk wilayah Tengah. Ia menilai bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki volume kasus yang tinggi dan program pemerintah setempat yang mendukung penerapan restorative justice. Sebagai contoh, pada tahun 2022 tercatat lebih dari 51 ribu kasus hukum di Jawa Timur, dengan sekitar 5 ribu kasus di antaranya terkait narkotika.
“Polda Jatim sangat cocok sebagai percontohan, karena pemerintah provinsi sudah menjalankan program rumah restorative justice, dan di sini perkara hukum paling banyak tercatat,” jelas Hinca. Menurutnya, program ini dapat membantu mengurangi beban kasus di pengadilan dengan cara penyelesaian konflik berbasis dialog dan musyawarah.
2. Polda Sulawesi Selatan: Mengutamakan Kearifan Lokal di Wilayah Timur
Untuk wilayah Timur, Hinca mengusulkan Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) karena provinsi ini memiliki potensi besar dalam penerapan restorative justice dengan pendekatan kearifan lokal. Ia menjelaskan bahwa budaya di Sulawesi Selatan mengedepankan musyawarah dan kebersamaan, yang sesuai dengan semangat restorative justice. “Kasus di Sulsel peringkat ke-6 tertinggi, sekitar 28 ribu, namun Sulsel memiliki nilai-nilai kebatinan yang bisa mendukung upaya restorative justice,” kata Hinca. Dengan melibatkan budaya lokal, seperti tradisi musyawarah, upaya restorative justice dapat lebih diterima dan efektif di masyarakat.
3. Polda Sumatra Utara: Penyelesaian Masalah Melalui Dialog di Wilayah Barat
Untuk wilayah Barat, Hinca mengusulkan Polda Sumatra Utara (Sumut) sebagai model percontohan. Ia mengungkapkan bahwa Sumatra Utara telah berhasil menerapkan pendekatan restorative justice, yang berkontribusi pada penurunan jumlah kasus di tingkat kepolisian. “Contoh di empat Polsek di Simalungun yang berhasil mencapai nol perkara setelah menggunakan metode dialog,” jelasnya. Hinca meyakini, kolaborasi antara kepolisian dan pemerintah daerah dalam menyelesaikan konflik melalui pendekatan ini dapat mencegah ketidakadilan dan penundaan penyelesaian perkara.
Kolaborasi Pemerintah Daerah dan Kepolisian dalam Restorative Justice
Hinca menambahkan, penerapan restorative justice memerlukan koordinasi yang baik antara kepolisian dengan pemerintah daerah. Ia mengilustrasikan kolaborasi ini seperti sebuah proses pertanian. “Gubernur sebagai penyedia ‘benih’ atau kebijakan, sedangkan kepolisian yang akan melaksanakan proses hukumnya. Rumah-rumah restorative justice di desa dapat mengatasi konflik kecil dengan cara yang damai,” katanya. Menurutnya, pendekatan ini membantu mencegah ketimpangan dalam penegakan hukum dan menghindari penumpukan kasus yang menyebabkan keadilan tertunda.
Dengan usulan ini, Hinca berharap ketiga Polda percontohan dapat menjadi model bagi wilayah-wilayah lain di Indonesia dalam menerapkan restorative justice. Harapannya, pendekatan ini akan mengurangi konflik, mempercepat penyelesaian kasus, dan meminimalisir penumpukan perkara di pengadilan.