Anwar menekankan bahwa keputusan ini bukan semata tindakan administratif, melainkan buah dari proses panjang, diskusi lintas sektor, serta tanggung jawab moral dan konstitusional untuk melindungi rakyat Sulteng.
“Daerah ini pernah mengalami bencana besar. Kalau kawasan hulu seperti ini tidak kita jaga, saya khawatir suatu saat kita semua akan tertimbun,” katanya, merujuk pada rentannya wilayah Palu terhadap bencana seperti banjir dan tanah longsor.
Ia juga menyampaikan bahwa aspirasi masyarakat menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan. Selama delapan bulan terakhir, warga Kota Palu secara konsisten menyuarakan penolakan terhadap aktivitas tambang di daerah tersebut lewat aksi damai.
“Ini adalah suara rakyat yang tidak boleh diabaikan. Penutupan ini bukan hanya keputusan pribadi, tetapi mandat yang saya emban dari masyarakat dan negara,” tambahnya.
Langkah Anwar Hafid disambut antusias warga, khususnya yang bermukim di kawasan terdampak. Mereka menilai keputusan ini sebagai bentuk nyata keberpihakan pemerintah terhadap keselamatan lingkungan dan kelangsungan hidup masyarakat.
Dengan pencabutan dua izin ini, Pemprov Sulteng menegaskan komitmennya untuk tidak membuka kembali ruang pertambangan di kawasan pemukiman. Ke depan, Pemerintah Provinsi disebut akan lebih ketat mengawasi penerbitan izin usaha, terutama yang berisiko menimbulkan dampak ekologis dan sosial.