Setelah Bank Dunia atau World Bank mewanti-wanti terjadinya resesi global pada 2023, dinihari 22 September 2022 Bank Sentral AS atau The Federal Reserve System (The Fed) pun menaikkan suku bunga acuan yang cenderung kontraktif. Sepertinya potensi krisis keuangan dunia semakin serius, ya?
Pada tulisan sebelumnya kita sudah membahas soal penaikan suku bunga acuan sebagai langkah melawan inflasi. Nah, kali ini The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) hingga kisaran 3% – 3,25%, angka ini adalah tertinggi sejak 2008.
Sebagai informasi, penaikan suku bunga acuan oleh The Fed ini adalah kali kelima sepanjang 2022, untuk meredam ganasnya inflasi yang faktanya mendekati level tertinggi sejak awal 1980-an.
Inflasi memang harus ditekan. Tapi, kebijakan normalisasi moneter Amerika Serikat oleh The Fed ini juga patut diwaspadai, lho. Kenaikan suku bunga acuan The Fed kali ini — dan akan terus dilakukan secara bertahap — bisa menyebabkan capital outflow yang dramatis pada negara-negara berkembang.
Saat bunga terkerek naik, tentu banyak negara yang akan kesulitan dalam pembiayaan atau pengelolaan utangnya. Bahkan International Monetary Fund (IMF) memperkirakan 60 negara akan menghadapi kesulitan ini, dan bisa berdampak pada kejatuhan ekonomi.
AS, Eropa dan Tiongkok sudah menjerit. Lantas, bagaimana daya tahan RI menghadapi ancaman resesi global?
Patut disyukuri, perekonomian Indonesia saat ini masih cukup baik, neraca perdagangan masih surplus dan cadangan devisa relatif stabil. Tapi risiko capital outflow dan perlambatan ekonomi akibat naiknya suku bunga acuan The Fed yang hawkish ini wajib diwaspadai.
Memang saat ini, di Indonesia, mobilitas dan pergerakan orang maupun barang tampak masih normal. Berdasarkan data perbankan, kredit modal kerja di bank naik di kuartal kedua tahun ini, sejalan dengan pergerakan konsumsi. Begitu pula kredit investasi.
Ya, saya sepakat dengan sejumlah pengamat yang mengatakan, basis konsumsi ini masih cukup besar dan terjaga lantaran besarnya jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia. Tapi harus diakui, belanja rumah tangga masyarakat saat ini ikut terkerek kenaikan inflasi. Dampak inflasi ini sangat terasa di kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Sebab itulah pemerintah menggelontorkan bermacam bantuan sosial (BLT, BSU) sebagai ‘pelampung’, agar tidak terlalu mempengaruhi indikator sosial ekonomi. Ya, mau tidak mau pendapatan masyarakat harus ikut naik agar daya beli tetap terjaga.
Sementara itu, resiliensi atau ketahanan perbankan kita juga harus tetap terjaga. Meski suku bunga acuan Bank Indonesia juga naik, tapi perbankan harus bisa menjaga likuiditas dan kualitas kredit, dengan meningkatkan rasio laba yang dihasilkan bank dari modalnya (Return on Equity/RoE).
Ihwal ketahanan perbankan, pada situasi ini bank perlu menjaga pertumbuhan kredit di segmen korporasi, fokus pada nasabah unggulan yang mempunyai kualitas dan kinerja yang baik, serta memiliki pengalaman resilien terhadap gejolak resesi.
Pada sisi lain, kredit di sektor UMKM juga bisa menjadi pendorong RoE untuk menjaga ketahanan perbankan, terutama UMKM yang mempunyai orientasi ekspor dan ditopang dengan ekosistem digital yang mumpuni. Sementara di lini konsumer, perbankan perlu strategi cross selling dengan nasabah korporasi dan UMKM untuk menjual produk-produk seperti KTA dan KPR.
Sejatinya jurus menjaga ketahanan perbankan tersebut sudah diterapkan oleh bank-bank plat merah alias BUMN. Ambil misal BNI, yang sudah mengimplementasikannya untuk mendukung strategi pertumbuhan RoE-nya hingga 3 tahun kedepan. BNI optimis, langkah tersebut bisa meningkatkan RoE lebih dari 18% pada 2025. Terbukti, posisinya per Juni 2022, sudah mencapai 15,1%.
Jadi, meski ekonomi global melambat dan terancam krisis keuangan, bisa saja kita tidak terpengaruh secara signifikan jika pemerintah, masyarakat, pelaku usaha dan perbankan tetap waspada dan saling menjaga. Seperti hubungan aku dan kamu, yang harmonis dan membuat orang lain iri, eaa…
Abiwodo, S.E., M.M.
Praktisi Perbankan