Kamis, 21 November, 2024

PERTEMUAN BIDEN-XI JINPING PENTING DAN BAIK BAGI DUNIA

Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono

Presiden RI ke-6

Alhamdulillah, pertemuan Presiden Amerika Serikat Biden dan Presiden Tiongkok Xi Jinping bakal digelar di Bali, di sela-sela Pertemuan Puncak G20. Di seluruh dunia, banyak yang merasa lega dan mendukung pertemuan itu. Ada secercah harapan, bahwa dunia akan lebih baik (safer) jika hubungan kedua negara besar itu terjalin kembali dan apalagi ke depan makin baik.

Ketika menghadiri Berlin Policy Dialogue 2022 dua minggu yang lalu, secara resmi saya menyampaikan bahwa pertemuan Biden-Xi Jinping dan sebenarnya juga pertemuan Biden-Putin akan menjadi “ground breaking”. Bisa menjadi “game changer” di tengah suasana dunia yang makin panas dewasa ini. Baik makin panas karena konfrontasi geopolitik yang meningkat tajam di kawasan Eropa dan Asia Timur, maupun makin panasnya bumi kita karena perubahan iklim yang makin buruk. Sayang, pertemuan Biden-Putin tidak terlaksana karena Presiden Rusia Putin memutuskan untuk tidak hadir di G20 Summit Bali, Indonesia.

Memang, banyak yang skeptis dan pesimistis bahwa pertemuan Biden-Xi Jinping ini akan menghasilkan sesuatu yang “meaningful”. Alasan mereka, rivalitas dan permusuhan antara Amerika Serikat dan Tiongkok sudah amat luas dan dalam. Rasa saling percaya di antara keduanya sudah sangat rendah (trust deficit). Isu-isu yang membuat keduanya bermusuhan dan saling berhadapan juga banyak yang fundamental dan sepertinya tak lagi bisa diakurkan. Salah satu contoh adalah urusan Taiwan. Lihat, betapa berbahaya kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara ketika kedua kekuatan militer terbesar di dunia tersebut saling berhadapan secara fisik. Jika ada miskalkulasi atau kejadian di lapangan yang tak terduga (misalnya satuan AS atau Tiongkok yang tiba-tiba menembak pesawat atau kapal perang “lawannya”), perang besar bisa terjadi.

Namun, ada juga yang berpendapat sebaliknya. Apapun hasil pertemuan Biden-Xi Jinping di Bali itu, tetap saja ada manfaatnya bagi dunia. Kesediaan bertemu secara langsung dan berdialog adalah bahasa politik yang positif. Bertemu tetap lebih baik dari pada tidak bertemu. Pengalaman di seluruh dunia mengajarkan bahwa resolusi konflik bisa didapatkan ketika jalan perundingan dan negosiasi akhirnya yang dipilih. Pertemuan kedua pemimpin puncak yang tengah bermusuhan kerap menjadi pintu masuk, atau paling tidak sebuah awal yang baik. Saya pribadi berada dalam pandangan dan pemikiran seperti ini.

Jika hubungan bilateral kedua negara adi daya ini terjalin kembali, akan bisa makin dikurangi berbagai mispersepsi, “misunderstanding” dan asumsi yang keliru. Dengan saling berbicara secara terbuka (apa adanya) dan juga saling mendengar, akan dapat dimengerti sikap dan tindakan apa yang dianggap tabu (definitely unacceptable) bagi yang lain. Inilah yang kerap disebut sebagai “red line” dalam dunia politik dan hubungan internasional. Misalnya, bagi Tiongkok mungkin campur tangan AS yang terlalu jauh terhadap urusan Tiongkok-Taiwan adalah sebuah “red line”. Mungkin juga sebaliknya bagi AS, penggunaan instrumen militer Tiongkok dan menyelesaikan sengketa dengan Taiwan dan juga dengan sejumlah negara di kawasan dalam sengketa teritori Laut Tiongkok Selatan juga dianggap “red line”. Barangkali masih ada lagi yang bagi kedua belah pihak dianggap sebagai “red line”, paling tidak sikap dan tindakan yang dianggap tidak bisa diterima.

Pertemuan Biden-Xi Jinping di Bali ini mungkin tidak memenuhi harapan banyak pihak, terutama bagi yang berharap setelah pertemuan kedua presiden itu situasinya akan segera berubah. Berubah dalam arti hubungan bilateral mereka kembali normal dan keduanya (dengan potensi dan kapasitas yang dimilikinya) bisa langsung berkontribusi untuk kebaikan dunia. Harapan seperti ini mungkin saat ini terlalu jauh. Bagi yang memiliki pengalaman yang panjang dalam “conflict resolution”, termasuk pengalaman pribadi saya dalam penyelesaian konflik baik di dalam negeri maupun di dunia internasional, semuanya memerlukan proses. Tak ada jalan pintas dan tak mungkin pula ada hasil besar yang diperoleh secara instan.

Menutup tulisan singkat ini, saya ingin menyampaikan pandangan saya mengapa dunia memerlukan “kebersamaan” AS dan Tiongkok untuk mengatasi berbagai isu kritis dan fundamental pada tingat global, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Pertama, AS dan Tiongkok memiliki tanggung jawab sangat besar untuk mengatasi ancaman “climate change” dan “global warming”, yang jika dunia gagal maka di akhir abad ini manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan tak lagi bisa hidup di bumi ini. Inilah yang menurut saya sebagai “survival interest” bagi seluruh negara. Saya masih percaya bahwa geopolitik yang sangat konfrontatif, bahkan sebuah peperangan, masih bisa dicarikan solusinya. Sebuah krisis ekonomi, yang kerap terjadi di dunia, juga ada jalan untuk menstabilkan dan memulihkan kembali. Tetapi, jika kenaikan suhu global menembus angka 4 derajat dari suhu era pra-industri, maka di akhir abad 21 ini “kiamatlah” dunia kita.

Mengapa saya berpendapat AS dan Tiongkok punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan bumi kita dari perubahan iklim karena, pertama, Tiongkok dan kemudian Amerika Serikat adalah penyumbang emisi karbon terbesar di dunia (the biggest emitters) yang menyebabkan bumi makin panas. Baik secara moral maupun “real actions” keduanya mesti berdiri di garis depan dalam mencegah bumi kita tak makin panas. Alasan kedua, kedua negara itu punya sumber daya, termasuk sumber daya keuangan yang besar, untuk digunakan dalam memerangi perubahan iklim.

Dengan demikian, bersama-sama, keduanya harus bisa bertindak sebagai “juru selamat” bumi kita, tentu dengan kontribusi seluruh negara di dunia. Tanpa Tiongkok dan AS, seluruh upaya untuk memerangi perubahan iklim tidak akan berhasil.
Alasan kedua, situasi geopolitik dan keamanan di Asia Timur dan Asia Tenggara sangat ditentukan oleh terbangunnya niat baik dan “mutual agreement” di antara AS dan Tiongkok untuk keduanya tidak menabrak “red line” dan kesedian untuk mengurangi tensi politik yang tinggi dewasa ini. Bahkan, hubungan baik kedua negara adi kuasa ini juga bisa mencegah makin memanasnya situasi di Semenanjung Korea dan Jepang. Kalau saya lanjutkan, hubungan baik mereka juga bisa membuka jalan baru, pendekatan baru, bagi pengakhiran peperangan di Ukraina yang dampaknya juga membuat tekanan besar bagi perekonomian dunia. Kedekatan Xi Jinping dengan Putin, bisa menjadikan pemimpin kuat Tiongkok itu sebagai jembatan yang dapat mengurangi kemacetan dan kemandegan diplomasi.

Tentu masih banyak lagi alasan yang lain perlunya AS dan Tiongkok dapat “bekerjasama” dalam mengatasi berbagai permasalahan kritis pada tingkat dunia. Andaikata kedua negara itu belum bisa bekerjasama dalam semua urusan, bahkan bilamanapun rivalitas dan permusuhan di antara keduanya masih berlangsung, tetapi untuk urusan perubahan iklim serta geopolitik dan keamanan di Asia, kita sungguh berharap mereka bisa menjadi bagian dari solusi. Sejarah mengajarkan bahwa pragmatisme yang positif diutamakan, dan pendekatan yang terlalu ideologis dikesampingkan. Semua negara tentu ingin memperjuangkan kepentingan nasionalnya masing-masing, tetapi kewajiban internasional mereka tak bisa ditinggalkan.

Semoga pertemuan Presiden Biden dengan Presiden Xi Jinping di Bali, Indonesia ini membuat dunia bukan hanya bisa “bernafas lega”, tetapi lebih jauh (pada saatnya) dunia kita menjadi lebih aman, lebih adil dan lebih sejahtera. A better world is always possible.

Jakarta, 14 November 2022

- Advertisement -spot_imgspot_img
Berita Terbaru
- Advertisement -spot_img
Berita Lainnya
Rekomendasi Untuk Anda
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini