Langkah Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, yang membatalkan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas pagar laut di Kabupaten Tangerang, Banten, merupakan tindakan yang patut diapresiasi.
Pembatalan ini dilakukan karena ditemukannya cacat prosedur dan material dalam penerbitan sertifikat yang bersangkutan, serta fakta bahwa area yang diterbitkan sertifikatnya berada di bawah laut dan tidak seharusnya menjadi properti pribadi.
Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menegakkan aturan dan melindungi kepentingan publik.
Kasus ini menggambarkan betapa pentingnya pengawasan ketat dalam proses pengukuran dan penerbitan sertifikat tanah. Dengan 266 sertifikat yang diterbitkan dalam kurun waktu singkat (2022-2023), maka pembatalan ini menjadi bukti bahwa kewenangan kementerian dalam mencabut sertifikat yang belum berusia lima tahun sangat penting untuk memastikan kepastian hukum dan keadilan.
Menteri Nusron juga telah mengambil langkah yang tepat dengan memeriksa petugas terkait dan mengusut tuntas proses pengukuran yang melibatkan Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB).
Keputusan ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah tidak akan mentolerir praktik yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, serta berkomitmen untuk menjaga integritas sistem pertanahan di Indonesia.
Namun, meski langkah ini tepat, pemerintah perlu memastikan bahwa langkah-langkah pengawasan internal yang lebih ketat diterapkan agar kejadian serupa tidak terulang.
Selain itu, transparansi dalam setiap proses penerbitan sertifikat tanah harus terus dijaga agar publik semakin percaya terhadap sistem pertanahan yang ada.
Dengan penegakan hukum yang konsisten dan pemeriksaan yang mendalam terhadap pihak-pihak yang terlibat, langkah ini dapat menjadi contoh baik dalam menegakkan keadilan di sektor pertanahan.
Pemerintah harus terus bekerja untuk memastikan bahwa tanah, sebagai salah satu sumber daya vital, dikelola dengan benar dan adil untuk kepentingan semua pihak.
Oleh Dede Prandana Putra (Pemerhati Sosial-Politik)