Oleh: Purwanto Setiadi | Wartawan Lepas & Sukarelawan di B2W Indonesia
Dibaca berulang-ulang, kesan menonjol yang timbul dari Inpres No. 7 Tahun 2022 hanya satu: landasan pemikirannya, tampaknya, berkaitan dengan switching atau pengalihan “bahan bakar” belaka, dari bensin (bahan bakar fosil) ke tenaga listrik (baterai).
Dengan kata lain, concern dalam instruksi yang mewajibkan semua instansi pemerintah menggunakan kendaraan listrik itu lebih pada pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil di sektor transportasi. Beleid ini bukan tidak perlu, tapi ia bisa menutupi kenyataan bahwa problem yang berkaitan dengan mobil, juga kendaraan bermotor pada umumnya, bukan hanya penggunaan bensinnya, yang menguras anggaran negara—melalui subsidi bahan bakar minyak.
Masalah-masalah tersebut selama ini merupakan isu gawat perkotaan yang paling utama, yakni: (1) polusi udara/emisi, juga polusi suara; (2) kemacetan; dan (3) tingkat kematian yang tinggi akibat tabrakan di jalan raya. Bisa ditambahkan pula semakin meningkatnya jumlah penderita penyakit-penyakit yang tak ditularkan karena sedentary lifestyle atau kebiasaan malas bergerak—penyakit jantung, diabetes, kanker, dan sebagainya. Sebagai gambaran, secara ekonomi, yang dihitung berdasarkan pemborosan bahan bakar dan menurunnya produktivitas karena hilangnya waktu di jalan, di Jabodetabek kerugian yang diakibatkan kemacetan saja mencapai Rp 71 triliun.
Peralihan dari bahan bakar fosil ke tenaga listrik memang perlu. Tapi, dalam konteks instruksi presiden tersebut, signifikansi dari dampak peralihannya—penghematan yang bisa direalisasikan dibandingkan dengan eksternalitas yang ditimbulkannya—tergantung seberapa besar jumlah kendaraan dinas di instansi-instansi pemerintah, khususnya dibandingkan dengan jumlah kendaraan perorangan.
Harus diakui, sebagai pengganti bensin, tenaga listrik sebetulnya bisa memenuhi tuntutan perbaikan kualitas udara, juga penurunan emisi—yang menyebabkan krisis iklim. Hanya saja, semata-mata berfokus kepada peralihan ke kendaraan bertenaga listrik berupa mobil, juga sepeda motor, untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil sangat boleh jadi akan mengaburkan urgensi persoalan-persoalan akibat penggunaan mobil dan kendaraan bermotor secara utuh, yakni, itu tadi, bahwa ada setidaknya tiga masalah genting yang berkaitan dengan penggunaan mobil.
Sejauh ini, selama bertahun-tahun, kita tahu bahwa masalah-masalah tersebut tidak pernah bisa diatasi. Sebagian penyebabnya adalah jalan keluar yang dipilih tidak langsung membidik akarnya. Kemacetan, umpamanya, selalu dicoba diselesaikan dengan penambahan panjang atau lebar jalan, atau membikin jalan layang. Toh kemacetan masih saja ada. Berlakunya paradoks Jevons, yang menimbulkan induced demand–yakni, dalam hal ini, bertambahnya suplai jalan justru mengundang semakin banyak penggunanya–sama sekali dinafikan.
Maka, kalaupun nanti semua instansi pemerintah telah mengganti kendaraan dinas dengan kendaraan listrik, problem kemacetan pasti masih akan menghambat mobilitas orang per orang. Sebab memang tidak ada pengurangan penggunaan mobil dan kendaraan bermotor—sebagai jalan keluar yang niscaya. Dan ini menunjukkan tidak adanya, atau malah sengaja diabaikannya, pemahaman tentang keterbatasan ruang atau lahan, dan bahwa ruang atau lahan yang digunakan untuk membangun jalan serta tempat parkir akan lebih berguna jika dimanfaatkan untuk keperluan publik yang lebih luas.
Bagaimana dengan problem-problem yang lain? Sama saja. Polusi udara, juga emisi, tidak serta-merta bakal lenyap. Sebab listrik yang digunakan untuk mengecas baterai masih diproduksi dengan bahan bakar fosil (batu bara, misalnya). Ini belum memperhitungkan emisi yang dihasilkan dalam proses manufaktur mobil listrik, atau sepeda motor listrik. Tabrakan di jalan raya dijamin juga masih akan terjadi, apalagi jika batas kecepatan maksimum tidak diturunkan atau wilayah pengoperasian kendaraan tidak dibatasi, dan penegakan hukum tetap saja memble. Di samping itu, penyakit-penyakit tak ditularkan tetap akan tinggal, mungkin malah meningkat jumlah kasusnya.
Keadaan bisa tampak jauh lebih buruk kalau ikut diperhitungkan dampak lain dari penggunaan mobil dan kendaraan bermotor terhadap lingkungan yang cenderung diabaikan ini: produksi semen; urban heat island atau fenomena lebih tingginya suhu di perkotaan dibanding wilayah sekitarnya; limpasan air hujan yang tak bisa dibendung; polusi partikel dari ban dan rem; manufaktur kendaraan; hilangnya lahan subur akibat pembangunan permukiman yang acakadut; dan konstruksi serta pemeliharaan tempat parkir.
Pendeknya, sementara ketergantungan terhadap bahan bakar fosil mungkin bisa dihindarkan, peralihan ke mobil atau sepeda motor listrik sesungguhnya hanya menukar wahana (bahwa mobil ya tetap mobil), tidak mengatasi masalah-masalah yang telah ada.
Agar masalah-masalah itu bisa sekalian ditanggulangi, akan lebih baik kalau dana yang tersedia diinvestasikan untuk manfaat yang lebih besar ketimbang untuk mengkaver biaya peralihan. Di sektor transportasi, manfaat itu adalah pengadaan dan perbaikan penyelenggaraan angkutan umum serta prasarana dan fasilitas pendukung mobilitas tanpa kendaraan bermotor (jalan kaki, bersepeda). Kalau masih terobsesi kendaraan listrik juga, belanjakan saja anggarannya untuk armada bus listrik.
Sumber: Tempo.co