TajukPolitik – Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie M Massardi menyesalkan sikap Menko Polhukam, Mahfud MD yang terlanjur dianggap publik “mengamini” pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan terkait OTT KPK.
Seperti diketahui pernyataan Menko Kemaritiman & Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, terhadap kegiatan Tangkap Tangan KPK yang dianggap bikin citra negara jadi jelek.
“Apapun konteksnya, kritik vulgar LBP terhadap Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dibenarkan. Bahkan lebih dari itu, bisa mengarah ke obstruction of justice terhadap proses hukum tersangka yang baru saja kena Tangkap Tangan KPK,” kata Adhie Massardi, Jumat (23/12).
Sebab, menurut Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini, LBP melontarkan kegeramannya itu hanya selang beberapa hari setelah KPK menangkap Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak melalui giat Tangkap Tangan.
“Kita tahu ST Simanjuntak petinggi Partai Golkar Jatim, sedangkan LBP orang paling dipercaya Presiden Widodo, di DPP Partai Golkar duduk sebagai Ketua Dewan Penasihat. Padahal kita tahu menurut undang-undang baru (UU No 19/2019 Pasal 3) KPK itu ditempatkan di bawah eksekutif (presiden) dan para pegawainya masuk dalam rumpun ASN,” tutur Adhie.
“Maka ditambah dengan pernyataan Mahfud MD, petinggi Istana setingkat Menko (Polhukam) yang viral di medsos dan dianggap publik mengamini pernyataan LBP, membuat masyarakat kian cemas terhadap masa depan KPK,” tambahnya.
Meski ada tekanan dari dua orang kuat Istana, Adhie yakin KPK akan tetap melakukan Tangkap Tangan pada hari-hari ke depan.
Saya percaya Pak Firli, Ketua KPK bisa tegar menghadapi tekanan ini. Tapi sejauh mana beliau sanggup meyakinkan armadanya untuk terus berlayar menerjang badai korupsi di negeri ini, kita lihat saja nanti,” ujar Adhie.
Sebagai sesama anak buah Gus Dur di Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001), Adhie menilai dua sosok tersebut saat itu terlalu sibuk mengurus kementerian mereka. Jarang bertemu Presiden Gus Dur. Sehingga mereka kurang mendapat pengarahan dari Gus Dur soal demokrasi, antikorupsi, dan probel mayoritas masyarakat.
“Sedangkan saya jubir presiden, setiap saat dekat dengan Gus Dur. Jadi saya lebih intens dapat pengarahan soal demokrasi, anti-korupsi dan problem mayoritas rakyat. Sedangkan Rizal Ramli sebelum jadi ABG (anak buah Gus Dur) habitatnya memang di alam demokrasi,” terangnya.
“Jadi menurut saya, dalam perkara demokrasi dan korupsi, artikulasi mereka kurang pas dengan suasana kebatinan masyarakat. Publik sebaiknya memaafkan mereka. Percayalah, apa yang diucapkan LBP dan Mahfud MD tidak seburuk yang diduga banyak orang,” lanjut Adhie.
Sementara itu, soal pernyataan Mahfud MD di media sosial, Adhie punya jawaban tersendiri. Saat itu Mahfud MD mengatakan,”Tak salah dong Pak Luhut. Daripada kita selalu dikagetkan oleh OTT lebih baik dibuat digitalisasi dalam pemerintahan agar tak ada celah korupsi. Kan memang begitu arahnya”.
Menurut Adhie, mungkin benar digitalisasi bisa menutup celah korupsi. Tapi jangan salah, pejabat Indonesia bisa menembus gorong-gorong untuk nyolong.
Inti persoalannya, tegasnya, ada di mekanisme rekrutmen dan langkanya keteladanan dari pimpinan tertinggi.
“Bangsa ini memang nyaris tidak memiliki etika kekuasaan. Lihat kasus Sambo. Jangankan hanya digitalisasi, semua barang bukti bisa lenyap dan untuk memuluskan tindak pidana hampir seratus orang dari berbagai lapisan bisa dikerjasamakan. Ini kan gila!” tegas Adhie.
Saya curiga justru dengan digitalisasi sistem itu membuat korupsi jadi kian senyap, kian sulit dideteksi. Apalagi di-OTT,” demikian Adhie Massardi