Jumat, 31 Januari, 2025

Anggaran Pendidikan 20 Persen dari APBN Namun Biaya Pendidikan Masih Tinggi, Pengelolaan Kemendikbudristek Dinilai Tidak Efektif

TajukNasional Alokasi 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan seharusnya membawa dampak positif dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, kenyataannya, biaya pendidikan di berbagai jenjang masih dianggap mahal dan tidak terjangkau oleh banyak masyarakat. Masalah ini menjadi sorotan di Senayan, terutama karena distribusi anggaran tersebut tersebar di banyak kementerian/lembaga, yang menyebabkan implementasi dana pendidikan dinilai tidak tepat sasaran.

Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, mengungkapkan bahwa alokasi 20 persen anggaran pendidikan yang bersumber dari APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat 4, masih menghadapi banyak kendala.

“Amanat konstitusi tersebut sebenarnya telah direalisasikan 20 persen di APBN, tetapi APBD belum sepenuhnya. Kami mendapati masih ada beberapa daerah kabupaten/kota yang mungkin menambahkan hanya 3,5 atau 10 persen dari APBD,” kata Dede dalam rapat Panja Pembiayaan Pendidikan bersama mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (30/8/2024).

Dede Yusuf menyoroti bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) belum sepenuhnya mampu menjawab berbagai persoalan pendidikan, terutama terkait dengan keterjangkauan dan kepastian masyarakat dalam mendapatkan pendidikan yang layak, terjangkau, dan berkeadilan. Menurutnya, meskipun alokasi anggaran pendidikan sudah ditetapkan, implementasinya masih jauh dari harapan.

“Itu terjadi karena fungsi pendidikan yang dimandatkan dalam konstitusi 20 persen pendidikan dalam APBN dan APBD belum terimplementasi dengan benar dan tepat,” ungkapnya.

Dede juga memaparkan bahwa dari total Rp 656 triliun dana pendidikan yang berjalan pada tahun ini, Kemendikbudristek hanya mengelola sekitar Rp 98,9 triliun. Sisanya dikelola oleh kementerian/lembaga lainnya seperti Kementerian Keuangan dengan Rp 77 triliun, Kementerian Agama dengan Rp 62,3 triliun, dan K/L lainnya dengan Rp 32,8 triliun. Selain itu, anggaran pendidikan pada belanja non-K/L sebesar Rp 47,3 triliun dan transfer ke daerah serta dana desa mencapai Rp 346 triliun.

Untuk tahun 2025, anggaran pendidikan direncanakan naik menjadi Rp 722 triliun, tetapi ironisnya, anggaran yang dialokasikan untuk Kemendikbudristek justru turun menjadi Rp 83 triliun, sementara anggaran untuk K/L lainnya dan non-K/L meningkat menjadi Rp 147 triliun. Kondisi ini, menurut Dede, berkontribusi terhadap mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. “Inilah yang kemudian sering kita dengar menyebabkan pendidikan mahal, karena masyarakat harus membayar tambahan lainnya termasuk SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi,” ujarnya.

Dede Yusuf juga menekankan bahwa anggaran pendidikan kedinasan yang tersebar di berbagai kementerian seperti BIN, Polri, Akpol, Kemhan, Akmil, Kejagung, dan Kemenhub, masih bercampur dengan anggaran pendidikan untuk masyarakat umum. Menurutnya, pendidikan kedinasan seharusnya tidak masuk dalam definisi anggaran pendidikan yang ditujukan untuk publik.

“Anggaran pendidikan kedinasan di BIN, Polri, Akpol, Kemhan, Akmil, Kejagung, Kemenhub, masih bercampur dengan anggaran pendidikan untuk masyarakat umum. Padahal pendidikan kedinasan dalam definisi anggaran pendidikan tidak masuk di dalamnya,” katanya.

Menghadapi situasi ini, Dede Yusuf mempertanyakan apakah postur anggaran saat ini sudah ideal atau masih perlu dilakukan reformulasi. “Apabila dilakukan reformulasi, langkah apa yang perlu dilakukan secara tepat?” tanyanya kepada Bambang Brodjonegoro.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Bambang Brodjonegoro memahami kekhawatiran DPR, terutama karena anggaran pendidikan tersebar di hampir semua K/L. “Kita juga punya STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) yang memberikan beasiswa, tempat tinggal gratis, dan segala macam, hingga tahun kedua atau tahun ketiga itu sudah langsung CPNS,” katanya. Bambang mengakui bahwa distribusi anggaran yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga membuat pengelolaannya menjadi kurang efisien dan sulit diukur dampaknya terhadap pendidikan nasional.

- Advertisement -spot_imgspot_img
Berita Terbaru
- Advertisement -spot_img
Berita Lainnya
Rekomendasi Untuk Anda
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini