TajukNasional Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menegaskan komitmen pemerintah dalam menjaga hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka. Upaya ini dilakukan seiring dengan program pemerintah yang bertujuan untuk melegalkan tanah-tanah adat yang belum tersertifikasi, sehingga hak-hak masyarakat adat tetap terlindungi.
“Masyarakat adat itu sudah berada di buminya, di tanah kelahirannya, sudah puluhan tahun, ratusan tahun,” kata AHY saat ditemui wartawan usai acara International Meeting on Best Practices of Ulayat Land di Hotel Trans Luxury, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Selasa (4/9). AHY menekankan bahwa sertifikasi tanah ulayat tidak akan mengganggu hak-hak masyarakat adat. “Yang tentunya punya harapan agar siapa pun yang masih menjadi bagian dan ada keturunan darah dari suku ataupun identitas adat tertentu, itu bisa diperjuangkan hak-haknya,” sambung dia.
Untuk memastikan hal ini, AHY menjelaskan bahwa pendekatan yang digunakan pemerintah akan bersifat persuasif, dengan tujuan meyakinkan masyarakat adat bahwa sertifikasi tidak akan mengganggu ruang hidup mereka. Langkah awal dalam proses ini adalah pengakuan resmi atas wilayah adat oleh pemerintah, diikuti dengan pengukuran, pendaftaran, dan pencatatan yang sistematis. “Setelah itu kita baru bisa melakukan pengukuran, pendaftaran, dan juga pada akhirnya semua terdata dengan baik,” tambahnya.
AHY berharap bahwa langkah-langkah ini akan membantu mencegah konflik di masa mendatang terkait tanah ulayat. Ia menegaskan komitmennya untuk bekerja keras dalam mewujudkan rencana ini bersama seluruh pihak terkait. “Dengan ini harapannya tidak lagi ada sengketa di kemudian hari. Kita jaga ini bareng-bareng, dan tentunya ini membutuhkan kerja keras,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT), Asnaedi, mengungkapkan bahwa salah satu tantangan utama dalam sertifikasi tanah ulayat di Indonesia adalah proses pencatatan yang belum sepenuhnya terstruktur. “Karena kan belum pernah tercatat semuanya, tidak tercatat runut. Jadi kita mengidentifikasi, mengkategorisasi itu benar-benar butuh waktu, butuh ketelitian, butuh sumber-sumber informasi yang banyak, tidak satu,” jelas Asnaedi.
Tantangan dalam proses identifikasi ini juga mencakup penetapan wilayah hukum adat secara jelas, yang harus sesuai dengan peraturan yang ada. Asnaedi menegaskan bahwa penetapan suatu kawasan sebagai wilayah adat tidak bisa dilakukan secara sembarangan, melainkan harus mengikuti syarat-syarat tertentu, termasuk memastikan bahwa wilayah tersebut belum memiliki hak atas tanah yang diterbitkan sebelumnya. “Jadi kalau sudah terbit hak atas tanah itu kita tidak bisa terbitkan Hak Pengelolaan Tanah-nya (HPL),” imbuhnya.
Selain itu, Asnaedi juga menyebutkan bahwa pelabelan suatu kelompok sebagai masyarakat adat harus sesuai dengan aturan yang ada dalam Permendagri, dan bukan berdasarkan klaim sepihak. Ketidakjelasan ini, menurut Asnaedi, sering menjadi sumber masalah dalam sengketa lahan di wilayah tanah adat.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan tanah ulayat menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), Asnaedi menjelaskan bahwa hal tersebut dapat dilakukan asalkan tidak mengganggu eksistensi warga dan tanah ulayat. “Sepanjang PSN itu tidak menghilangkan eksistensi ulayatnya ya tidak masalah. Umpamanya proyek jembatan lewat di tanah ulayat itu kan memang harus ya karena termasuk infrastruktur yang memudahkan masyarakat,” ujarnya.
Asnaedi menambahkan bahwa jika tanah ulayat terkena proyek infrastruktur, ada mekanisme ganti rugi yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. “Ganti rugi bisa berupa uang, bisa barang, atau lokasi itu berdasar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012,” ujarnya.