Tajukpolitik – Sidang Praperadilan eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Filri Bahuri dan Eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) RI, Edward Omar Sharif Hiariej perlu untuk diawasi secara ketat.
Hal ini disampaikan oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menanggapi sidang praperadilan Firli dan Edward Hiariej mulai digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hari ini Senin (11/12).
“Penting pula untuk mengawasi proses persidangan agar berjalan mandiri atau bebas dari intervensi pihak manapun,” ujar Kurnia, melalui keterangan tertulis, Senin (11/12).
Menurut Kurnia, pemantauan penting dilakukan agar kedua pihak tidak bermain curang dalam praperadilan itu. Sebab, Firli dan Eddy memiliki relasi kuat di sektor hukum di Indonesia.
Kecurangan dalam praperadilan pun dinilai ICW sangat bisa dilakukan. Meskipun, gugatan itu merupakan hak tersangka yang tidak bisa dicampuri pihak manapun pengajuannya.
“Sulit dipungkiri, sekalipun mengajukan permohonan praperadilan merupakan hak dari setiap tersangka, namun, jalur tersebut kerap digunakan sebagai jalan pintas untuk terbebas dari jerat hukum,” kata Kurnia.
Kurnia menyebut sudah banyak praperadilan penetapan tersangka yang pertimbangannya ganjil. Salah satunya yakni putusan gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan pada 2015.
“Kala itu, hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Sarpin, melakukan akrobat hukum dengan memaksakan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Bukan cuma itu, Sarpin juga bermanuver melalui putusannya dengan mengatakan Budi bukan merupakan aparat penegak hukum,” tutur Kurnia.
Perbedaan gugatan Eddy dan Firli ada pada termohonnya. Praperadilan Eddy ditujukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sementara itu Firli kepada Polda Metro Jaya. Persidangan digelar pukul 10.00 WIB. Praperadilan itu nantinya akan terbuka untuk umum.
Di Polda Metro Jaya, Firli dijerat Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 huruf B, atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 KUHP dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup.
Sementara itu, Eddy menjadi tersangka karena diduga menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp8 miliar dari Dirut PT CLM Helmut Hermawan. Dana itu untuk mengurus sengketa status kepemilikan PT CLM, penghentian perkara di Bareskrim, dan dana keperluan pribadi berupa pencalonan Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti).