Sabtu, 14 Juni, 2025

Nilai UU Pemilu Saat Ini Compang-camping, Perludem Usul Indonesia Gunakan Sistem Pemilu Campuran

TAJUKNASIONAL.COM — Penggiat demokrasi dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan pentingnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu dilakukan segera dan menyeluruh.

Dalam Proklamasi Democracy Forum yang digelar DPP Partai Demokrat, ia mengkritik kondisi Undang-Undang Pemilu saat ini yang dinilainya sudah “compang-camping” akibat terlalu sering diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).

“UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sudah 159 kali diuji di MK. Banyak pasalnya direvisi, dibatalkan, atau diperintahkan untuk diatur ulang. Ini bukti UU kita tidak lagi utuh,” ujar Titi dihadapan sejumlah narasumber lain dan kader serta pengurus DPP Partai Demokrat, Senin (19/05/2025).

Titi juga menggarisbawahi bahwa penurunan kualitas demokrasi Indonesia, sebagaimana dilaporkan Democracy Report 2025 dari V-Dem Institute, menambah urgensi pembahasan RUU Pemilu. Indonesia kini dikategorikan sebagai electoral autocracy, bukan lagi electoral democracy.

“Pemilu masih ada, tapi prinsip bebas dan adilnya tidak terpenuhi. Ini sinyal kuat bahwa kita perlu memperbaiki sistem secara mendalam, bukan sekadar tambal sulam,” tegasnya.

Salah satu usulan utama dari Perludem adalah penerapan sistem pemilu campuran, sebagai jalan tengah dari perdebatan panjang antara sistem proporsional terbuka dan tertutup.

Baca juga: AHY Instruksikan Demokrat Aktif Dorong Pembahasan Ulang UU Pemilu, Jansen: Mulai Sekarang Jangan Ditunda

Sekjen Partai Demokrat, Herman Khaeron saat membuka acara Proklamasi Democracy Forum yang mengangkat tema RUU Pemilu di DPP Partai Demokrat, Senin (19/05/2025)
Sekjen Partai Demokrat, Herman Khaeron saat membuka acara Proklamasi Democracy Forum yang mengangkat tema RUU Pemilu di DPP Partai Demokrat, Senin (19/05/2025)

Sistem ini menggabungkan pemilihan langsung anggota legislatif melalui sistem single-member district (satu dapil, satu wakil) dan sistem proporsional tertutup.

“Kami mengusulkan sistem pemilu campuran seperti yang diterapkan di Jerman atau Selandia Baru. Sistem ini menjaga peran partai dalam rekrutmen politik, tapi tetap memberi ruang bagi rakyat untuk memilih wakilnya secara langsung,” jelas Titi.

Ia menambahkan, Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya juga telah memberikan dasar normatif bagi perubahan sistem pemilu ini.

“Putusan MK menyebut perlunya keseimbangan antara peran partai politik dan prinsip kedaulatan rakyat. Ini jadi dasar kuat untuk mengusulkan sistem campuran,” katanya.

Titi juga mengkritik sistem keserentakan pemilu yang berlaku saat ini, yang dinilainya terlalu membebani pemilih dan penyelenggara, menyebabkan suara tidak sah mencapai 9,47% pada Pemilu 2024.

“Pemilih datang ke TPS, tapi suaranya hangus karena teknis yang rumit. Sistem seperti ini tidak adil,” tegasnya.

Perludem juga mendorong pemilu serentak nasional (DPR, DPD, Presiden) dipisahkan dari pemilu lokal (DPRD dan Kepala Daerah) dengan jeda dua tahun untuk mencegah dominasi kekuasaan dan memberi ruang evaluasi publik.

Titi menutup dengan peringatan bahwa jika pembahasan RUU Pemilu terus tertunda, maka jalan perbaikan akan kembali dibawa ke pengadilan, bukan ke Parlemen.

“Kalau terlalu lama didiamkan, kami—dan publik—akan kembali ke Mahkamah Konstitusi. Bukan karena suka, tapi karena tidak diberi ruang dalam proses legislasi,” pungkasnya.

Selain Titi Anggraini, forum diskusi ini dihadiri Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi, Ketua KPU RI Mochamad Afifuddin, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, serta Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.

Baca dan ikuti Media Sosial Tajuk Nasional, KLIK DISINI

- Advertisement -spot_imgspot_img
Berita Terbaru
- Advertisement -spot_img
Berita Lainnya
Rekomendasi Untuk Anda
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini