Jumat, 9 Mei, 2025

Dorong Pisahkan Jadwal Pemilu dan Pilkada, Dede Yusuf Tolak KPU dan Bawaslu Jadi Lembaga Ad Hoc

TajukNasional Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, menolak wacana menjadikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga ad hoc. Ia menegaskan bahwa mengubah status kedua lembaga tersebut dari permanen menjadi ad hoc memerlukan amendemen terhadap UUD 1945, yang merupakan proses tidak mudah.

“KPU dibentuk berdasarkan amanat konstitusi UUD 1945, dan Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah menetapkan bahwa Bawaslu adalah bagian dari KPU. Jadi, untuk menjadikan keduanya sebagai lembaga ad hoc, konstitusi harus diubah,” jelas Dede saat diwawancarai pada Selasa (26/11/2024).

Menurut Dede, status KPU sebagai lembaga nasional, tetap, dan mandiri telah diatur secara jelas dalam UUD 1945. “Konstitusi sudah menegaskan bahwa KPU bukan lembaga ad hoc,” tegasnya.

Dibandingkan mengubah status KPU dan Bawaslu menjadi ad hoc, Dede lebih mendukung pemisahan jadwal pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada. Ia menilai bahwa pelaksanaan serentak kedua agenda besar ini, seperti pada tahun 2024, memunculkan banyak tantangan, termasuk konflik, beban kerja berat, dan potensi kecurangan.

“Kalau pemilu dan pilkada dilaksanakan pada tahun yang berbeda, saya rasa itu lebih efektif. Beban kerja KPU dan Bawaslu bisa lebih terdistribusi dan tidak terlalu melelahkan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti dampak negatif dari pelaksanaan serentak, seperti meningkatnya jumlah penjabat (PJ) yang harus diangkat, konflik antar aparatur sipil negara (ASN) dan perangkat desa, hingga maraknya praktik politik uang.

“Dengan pemisahan jadwal, KPU dan Bawaslu bisa bekerja secara berkesinambungan setiap tahun. Persiapan juga bisa dilakukan bertahap, mulai dari penyusunan daftar pemilih tetap (DPT), pendaftaran partai politik, hingga proses pemilu itu sendiri,” tambah Dede.

Sebelumnya, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Saleh Daulay, mengusulkan agar KPU dan Bawaslu menjadi lembaga ad hoc demi efisiensi anggaran negara. Menurutnya, kedua lembaga tersebut hanya aktif secara penuh selama dua tahun menjelang pemilu, sehingga status ad hoc dinilai lebih efisien.

Namun, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, justru mendukung pemisahan jadwal pemilu dan pilkada untuk mengurangi beban kerja berat akibat pelaksanaan serentak. Ia menyampaikan bahwa para pengawas di tingkat kecamatan merasa kewalahan menghadapi jadwal padat seperti tahun 2024, di mana pemilu presiden dan legislatif berlangsung pada Februari, sedangkan pilkada serentak digelar hanya sembilan bulan kemudian pada November.

“Pemilu dan pilkada sebaiknya dipisah, tidak digelar pada tahun yang sama,” ujar Bagja dalam Apel Siaga Pengawasan Masa Tenang Pilkada 2024 di Monas, Jakarta, Rabu (20/11/2024).

Dede Yusuf dan Rahmat Bagja sepakat bahwa pemisahan jadwal pemilu dan pilkada dapat memberikan solusi atas berbagai tantangan yang muncul dalam pelaksanaan demokrasi. Dengan distribusi waktu yang lebih baik, beban kerja KPU dan Bawaslu akan lebih ringan, konflik dapat diminimalisasi, dan efisiensi kerja dapat tercapai tanpa harus mengubah status lembaga menjadi ad hoc.

- Advertisement -spot_imgspot_img
Berita Terbaru
- Advertisement -spot_img
Berita Lainnya
Rekomendasi Untuk Anda
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini