Pernyataan Jimly ini menguatkan kritik yang disampaikan sebelumnya oleh akademisi Rismon Sianipar, yang mempertanyakan validitas klaim Polri bahwa ijazah Jokowi adalah asli. Rismon menekankan bahwa yang diperiksa hanya kesamaan fisik dokumen, bukan keotentikannya secara menyeluruh.
“Polisi bisa menyelidiki, tetapi kesimpulan mengenai keaslian dokumen harus diuji dengan metode ilmiah yang bisa direplikasi dan diuji silang di pengadilan,” jelas Rismon.
Ia juga mengingatkan bahwa integritas kepolisian masih diragukan publik, mengingat sejumlah kasus besar seperti Jessica Wongso, KM 50, dan Vina Cirebon, yang dinilai menyisakan tanda tanya soal penanganan bukti.
Jimly turut membagikan pengalamannya selama memimpin MK dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), bahwa banyak sengketa terkait ijazah palsu yang tidak selesai hanya di ranah administratif atau kepolisian.
“Penyelesaian sengketa seperti ini semestinya ditempuh lewat jalur perdata di PTUN, bukan pidana. Di sana, kedua belah pihak bisa menyajikan argumen dan bukti ilmiah untuk diuji secara terbuka,” tegasnya.
Meski begitu, Jimly menyebut laporan polisi tetap bisa diteruskan sebagai bagian dari proses hukum. Namun menurutnya, publik tidak boleh menganggap pernyataan polisi sebagai kebenaran final atas sengketa ini.
“Polisi bisa menyelidiki dan menyampaikan hasil, tapi yang bisa menyelesaikan konflik seperti ini secara menyeluruh tetap pengadilan,” ujarnya.
Dengan demikian, Jimly menyarankan agar persoalan keabsahan ijazah Presiden tidak lagi menjadi isu liar di tengah masyarakat, dan segera dibawa ke forum hukum yang tepat.
“Kita butuh kejelasan hukum, bukan sekadar opini atau pembelaan sepihak. Biar pengadilan yang bicara,” pungkasnya.