Menurut Harli, indikasi awal menunjukkan adanya skenario sistematis yang dibuat untuk mengarahkan proses pengadaan. Tim teknis diduga “dipandu” agar menghasilkan kajian yang mendukung penggunaan Chromebook sebagai alat bantu pembelajaran di sekolah.
Padahal, lanjut Harli, hasil uji coba sebelumnya telah membuktikan bahwa perangkat tersebut tidak cocok untuk kondisi infrastruktur digital di sebagian besar wilayah Indonesia.
“Laptop ini berbasis cloud dan sangat tergantung koneksi internet yang stabil, sedangkan kita tahu jaringan internet belum merata,” jelasnya.
Kondisi tersebut, kata Harli, tidak menghentikan proses pengadaan. Justru sebaliknya, diduga kuat ada dorongan agar proyek tetap berjalan meski hasil kajian lapangan menunjukkan ketidakefisienan perangkat.
Total Anggaran Hampir Rp10 Triliun
Nilai pengadaan dalam proyek ini tercatat sebesar Rp9,9 triliun, terdiri dari dua sumber utama:
- Rp3,58 triliun dari anggaran Satuan Pendidikan,
- Rp6,39 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan.
Kejagung belum menyebut siapa saja yang telah diperiksa atau terlibat, namun proses penghitungan kerugian negara tengah dilakukan bersama lembaga audit terkait.
“Nilai kerugian negara belum dapat kami umumkan karena masih dalam proses perhitungan,” tandas Harli.
Kejagung berjanji akan terus memperbarui informasi seiring perkembangan penyidikan. Jika dugaan pemufakatan terbukti, maka kasus ini berpotensi menjadi salah satu skandal pengadaan terbesar dalam sektor pendidikan Indonesia.