Hendry Lie disebut sebagai aktor kunci dalam skema ilegal penambangan dan pengelolaan timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Timah Tbk. Ia memerintahkan sejumlah bawahannya, seperti Rosalina dan Fandy Lingga, untuk menjalin kerja sama dengan PT Timah melalui berbagai smelter swasta—beberapa di antaranya merupakan perusahaan boneka.
Melalui kerja sama fiktif dan penyewaan alat pengolahan timah yang tidak melalui kajian memadai, mereka membeli bijih timah dari penambang ilegal dan menjualnya kembali ke PT Timah seolah-olah sah. Skema ini turut melibatkan nama-nama besar lain seperti Harvey Moeis, Mochtar Riza Pahlevi (eks Dirut PT Timah), dan sejumlah petinggi lain.
Pengadilan juga mencatat bahwa Hendry melalui perusahaannya menyetujui pembayaran “biaya pengamanan” hingga 750 dolar AS per ton kepada Harvey Moeis, yang kemudian dimasukkan dalam laporan sebagai dana CSR.
Uang-uang itu mengalir melalui perusahaan afiliasi seperti CV Bukit Persada Raya dan CV Semar Jaya Perkasa, yang digunakan untuk menampung hasil dari timah ilegal.
Seluruh skema kerja sama antara PT Timah dan perusahaan-perusahaan tersebut dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, serta tidak masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
Hendry Lie terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Tipikor, serta Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ia juga disebut menikmati keuntungan dari kejahatan ini selama bertahun-tahun, meski sebelumnya belum pernah dihukum.