Taufan menegaskan bahwa klaim yang diajukan oleh pihak-pihak tersebut bertentangan dengan fakta hukum yang ada. Kepemilikan lahan oleh negara telah sah secara hukum berdasarkan Sertifikat Hak Pakai No. 1/Pondok Betung Tahun 2003, serta dikuatkan oleh berbagai keputusan pengadilan, termasuk putusan Mahkamah Agung RI tahun 2007.
“Langkah hukum telah diambil dan keputusan pengadilan sudah berkekuatan tetap. Tidak ada kebutuhan untuk eksekusi ulang karena sudah dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri Tangerang,” tegasnya.
BMKG juga telah melakukan pendekatan non-konfrontatif, dengan berkoordinasi dari tingkat warga, aparat kelurahan, hingga pertemuan langsung dengan pihak-pihak yang bersengketa. Namun, pendekatan persuasif tersebut tidak membuahkan hasil.
Taufan menyebut dalam salah satu pertemuan, pimpinan ormas justru mengajukan tuntutan kompensasi sebesar Rp5 miliar agar massa mereka mundur dari lokasi proyek.
Di sisi lain, GRIB Jaya menyatakan bahwa kehadiran mereka di lahan tersebut merupakan bentuk advokasi terhadap masyarakat yang terlibat sengketa dengan pemerintah. Ketua Tim Hukum dan Advokasi GRIB Jaya, Wilson Colling, mengklaim bahwa kasus ini sudah berlangsung sejak tahun 1992 dan belum pernah ada keputusan pengadilan yang secara eksplisit memerintahkan pengosongan.
“Warga yang menempati lahan adalah bagian dari masyarakat yang merasa haknya belum diakui. Kalau memang ada pembayaran yang belum diselesaikan, negara juga harus menghormati hak-hak ahli waris,” ujar Wilson.
Meski demikian, BMKG menekankan bahwa fasilitas yang direncanakan di lahan tersebut penting untuk mendukung akuntabilitas publik dan sistem manajemen informasi nasional, mengingat gedung arsip yang dibangun akan menjadi pusat penyimpanan dokumen-dokumen strategis lembaga.
BMKG kini menantikan langkah konkret dari aparat kepolisian dan lembaga terkait untuk menyelesaikan polemik ini secara hukum demi menjaga aset negara dan kepentingan publik.