TajukNasional Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 tahun 2024 yang mempermudah partai politik untuk mengusung calon kepala daerahnya sendiri ternyata tidak mampu mencegah munculnya calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, aturan ini tidak efektif mengatasi fenomena calon tunggal yang terus bermunculan.
“Partai politik di sejumlah daerah lebih memilih berkongsi dengan satu kekuatan politik besar,” ujar Adi di Jakarta, Jumat (27/9).
Adi yang juga merupakan analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, menilai bahwa masalah calon tunggal bukan hanya soal regulasi, tetapi juga terkait dengan persoalan kaderisasi partai politik dan faktor finansial.
“Ironisnya, Pilkada seharusnya menjadi ajang persaingan antarpartai untuk memperebutkan jabatan publik strategis. Namun, kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh partai politik,” tambahnya.
Fenomena calon tunggal yang bersaing melawan kotak kosong hampir selalu berakhir dengan kemenangan calon tunggal.
Satu-satunya pengecualian terjadi di Pilkada Kota Makassar 2018, di mana kotak kosong berhasil menang. Namun, setelah itu, kemenangan kotak kosong tidak pernah terulang.
“Di tengah pemilih yang cenderung apatis dan transaksional, kemungkinan kotak kosong menang kembali sangat kecil,” jelas Adi.
Meskipun calon tunggal harus memperoleh lebih dari 50 persen suara sah untuk dinyatakan menang, data menunjukkan grafik kekalahan kotak kosong semakin menurun.
KPU melaporkan bahwa pada Pilkada 2024, terdapat 37 wilayah yang hanya memiliki satu calon melawan kotak kosong. Jumlah ini masih dapat berubah jika terjadi sengketa pencalonan yang dikabulkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).