Legislator Fraksi PKB ini menyampaikan bahwa hubungan antara pengemudi ojol dan aplikator saat ini belum setara. Ia menyoroti sistem pemotongan tarif yang dianggap memberatkan, serta posisi pengemudi sebagai “mitra” yang tidak dibekali hak-hak dasar pekerja.
“Potongan lebih dari 20 persen dari tiap orderan jelas sangat tinggi. Status ‘mitra’ yang disandang pengemudi ternyata lebih banyak merugikan daripada menguntungkan,” tegasnya.
Menurut Nihayah, keunikan pola kerja sektor ini—yang berada di antara hubungan kerja formal dan kemitraan bebas—menuntut negara hadir untuk menciptakan kerangka hukum baru yang melindungi kepentingan pekerja tanpa menghambat inovasi teknologi.
Komisi IX yang membidangi urusan ketenagakerjaan dan kesehatan, kata Nihayah, memahami urgensi pembentukan regulasi ini. Ia menyebut bahwa kontribusi besar para pengemudi dalam perekonomian digital harus dibalas dengan perlindungan yang konkret.
“Banyak pengemudi ojol yang dalam praktiknya tidak punya daya tawar sama sekali. Ini ketimpangan yang sudah terlalu lama dibiarkan,” ujarnya.
Sebagai penutup, Nihayah menyerukan kepada seluruh perusahaan aplikator untuk tidak mengabaikan tuntutan para pengemudi. Ia berharap para pelaku industri aplikasi lebih proaktif dalam menjalin dialog dengan mitra mereka, dan tidak sekadar fokus pada pertumbuhan bisnis.
“Kalau bisnisnya tumbuh pesat, kesejahteraan mitra pun seharusnya ikut meningkat. Jangan hanya menikmati keuntungan dari sistem yang timpang,” tutupnya.