Ia mengungkapkan bahwa tidak sedikit calon jemaah asal Indonesia yang sudah membayar penuh untuk program haji furoda namun gagal berangkat karena visanya tidak diterbitkan. Hal ini tidak hanya merugikan jemaah, tetapi juga biro perjalanan yang telah menyiapkan akomodasi dan logistik lainnya.
“Persoalannya berlapis. Selain jemaah dirugikan, pihak travel juga mengalami kerugian besar karena seluruh persiapan—tiket, hotel, transportasi—tidak bisa digunakan,” jelas politisi Fraksi Gerindra itu.
Untuk mengatasi kekacauan serupa di masa mendatang, DPR RI akan mendorong percepatan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 agar mencakup pengaturan teknis haji furoda, termasuk tanggung jawab biro perjalanan dan mekanisme perlindungan jamaah.
“Ini akan kita bahas dalam revisi UU. Haji furoda harus diakui sebagai bagian dari penyelenggaraan ibadah haji, tapi dengan aturan yang jelas agar tidak ada lagi pihak yang menjadi korban,” tegasnya.
Selain aspek hukum, Husni juga mengusulkan adanya pendekatan diplomatik yang lebih intensif antara Indonesia dan Arab Saudi. Tujuannya adalah untuk memastikan jalur furoda dapat berjalan tertib dan terintegrasi dalam sistem haji secara keseluruhan.
“Pemerintah kita perlu proaktif membangun komunikasi dengan Saudi. Kita butuh mekanisme yang menjamin bahwa pelaksanaan haji furoda bisa dilakukan secara transparan dan terkoordinasi,” tutupnya.