Senada dengan Bertu, Anggota Komisi XI lainnya, Wahyu Sanjaya, menyebut bahwa persoalan pelabuhan di Sumsel merupakan “penyakit lama” yang belum ditangani serius oleh pemerintah pusat. Ia menegaskan, sudah saatnya daerah ini memiliki pelabuhan internasional yang representatif dan modern.
“Sumsel ini masih belum punya pelabuhan ekspor-impor bertaraf internasional. Maka relokasi ke Tanjung Carat adalah solusi ideal. Kalau tetap di Boom Baru, kontainer saja harus didatangkan dari Lampung atau Jakarta, dan itu jelas menambah biaya,” kata Wahyu.
Ia juga mengungkap bahwa tingginya sedimentasi di sekitar sungai tempat Pelabuhan Boom Baru berdiri menjadikan pelabuhan tersebut makin tidak layak disandari kapal besar.
“Pelabuhan itu sebenarnya peninggalan kolonial. Dulu mungkin sungainya dalam, tapi sekarang sudah dangkal. Tidak bisa lagi diandalkan. Sudah waktunya pemerintah pusat turun tangan serius,” tegas legislator asal Dapil Sumsel itu.
Wahyu menekankan bahwa pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat bukan sekadar proyek infrastruktur, tapi langkah strategis untuk memperkuat posisi Sumsel sebagai pusat logistik dan ekspor di wilayah barat Indonesia.
“Jika pelabuhan internasional bisa dibangun di Tanjung Carat, maka akan membuka jalur perdagangan langsung tanpa harus memutar ke daerah lain. Produk lokal bisa lebih kompetitif di pasar global karena biaya kirimnya jauh lebih efisien,” katanya.
Komisi XI DPR RI pun mendorong agar anggaran dan perhatian pemerintah pusat dialokasikan secepatnya, agar proyek ini tidak hanya berhenti di atas kertas.
“Kalau pelabuhannya tersedia dan berfungsi maksimal, itu akan jadi pintu pertumbuhan ekonomi baru. Tapi kalau pelabuhannya saja tidak ada, bagaimana kita bicara ekspor dan daya saing?” tutup Wahyu.
