Dalam catatan Kementerian LHK, PT GAG Nikel telah memenuhi izin usaha pertambangan (IUP) hingga izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Perusahaan ini juga termasuk dalam daftar 13 perusahaan yang diizinkan beroperasi di kawasan hutan lindung berdasarkan Keppres Nomor 41 Tahun 2004, meskipun secara prinsip Undang-Undang Kehutanan melarang aktivitas semacam itu di wilayah tersebut.
Namun, klaim pemerintah ini mendapat sorotan tajam dari organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia. Dalam laporan terbarunya, Greenpeace menyebut bahwa aktivitas pertambangan di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah menyebabkan pembukaan hutan seluas lebih dari 500 hektare, merusak vegetasi asli dan mengancam ekosistem laut Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu wilayah biodiversitas laut terkaya di dunia.
Greenpeace juga merilis dokumentasi visual yang menunjukkan limpasan tanah dari bukaan tambang ke perairan pesisir, yang dinilai berkontribusi pada meningkatnya sedimentasi dan berpotensi merusak sistem terumbu karang.
“Klaim bahwa pencemaran tidak serius justru memperlihatkan kurangnya keseriusan pemerintah dalam merespons krisis ekologis yang nyata,” ujar juru kampanye Greenpeace.
Kontroversi ini kian mengemuka setelah sejumlah aktivis dan tokoh adat menyuarakan penolakan terhadap tambang di Raja Ampat. Mereka menilai kehadiran tambang tidak sejalan dengan komitmen pelestarian wilayah konservasi, serta bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan di Papua.