TAJUKNASIONAL.COM Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pembaruan sistem hukum di Indonesia tidak akan berhasil tanpa kemitraan erat antara akademisi dan praktisi hukum.
Dalam pidato kuncinya pada Konferensi Nasional ASIPPER 2025 di Universitas Pancasila, Jakarta, Yusril menyoroti tantangan besar yang dihadapi sistem perundang-undangan nasional yang dinilai masih tumpang tindih dan belum harmonis. “Negara hukum menuntut keteraturan, keadilan, dan keselarasan regulasi di setiap aspek penyelenggaraan pemerintahan,” ujarnya.
Menurutnya, problem utama bukan hanya banyaknya aturan, tetapi lemahnya kualitas dan konsistensi penerapan. Ia menyebut kondisi saat ini sebagai hiper-regulasi—banyak aturan tetapi tidak efisien dan seringkali menghambat dunia usaha. “Banyaknya regulasi tidak menjamin tercapainya keadilan,” tegas Yusril.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya mengakomodasi living law, yakni hukum yang tumbuh dalam masyarakat, sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat, kata Yusril, perlu ditempatkan secara proporsional dalam pembentukan regulasi yang relevan dengan kebutuhan bangsa.
Sebagai solusi, Yusril mengusulkan pembentukan forum permanen yang mempertemukan akademisi dan praktisi hukum, peningkatan kualitas perancang undang-undang, serta penerapan uji publik di setiap proses legislasi. “Regulasi yang baik harus ilmiah sekaligus membumi,” katanya.
Ia menutup dengan ajakan moral: “Akademisi dan praktisi adalah dua sayap burung garuda—keduanya harus terbang bersama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
IKUTI BERITA TERBARU TAJUK NASIONAL, MELALUI MEDIA SOSIAL KAMI



