Menurut politisi Fraksi Partai Golkar ini, persoalan batas wilayah tidak hanya menyangkut aspek spasial atau administratif, melainkan juga menyentuh dimensi psikologis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat lokal.
“Kalau ada ekspresi yang tercederai, itu bisa mendatangkan konflik. Padahal batas wilayah itu justru ingin memastikan berbagai ekspresi itu tetap terjaga secara damai,” jelasnya.
Zulfikar menilai bahwa penetapan batas wilayah harus melalui kajian ilmiah menyeluruh, bukan sekadar administratif. Ia menekankan perlunya melibatkan lembaga-lembaga terkait seperti Badan Informasi Geospasial (BIG), ahli topografi, dan Tim Review Wilayah dan Penetapan Nasional (TRWPN).
“Menurut saya ada tahapan yang belum dilakukan dan ada semangat yang bisa jadi terlupakan, yaitu tahapan saintifik dan semangat keterbukaan yang objektif,” tegasnya.
Zulfikar menyampaikan bahwa dalam tata kelola pemerintahan, keputusan administratif bisa dikoreksi jika ditemukan kekeliruan atau ketidakcermatan. Karena itu, ia mengajak semua pihak melihat masalah ini sebagai peluang untuk pembelajaran dan perbaikan tata batas wilayah di seluruh Indonesia.
“Yang penting duduk bersama, dialog, kajian yang ilmiah, melibatkan para ahli dengan semangat objektif,” pungkasnya.
Empat pulau yang disengketakan antara Aceh dan Sumut — Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang — sebelumnya tercantum dalam kesepakatan antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar pada 1992, yang disebut sebagai dasar historis kepemilikan Aceh. Namun, SK Mendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 menetapkannya sebagai bagian dari Sumut, memicu protes keras dari sejumlah tokoh dan masyarakat Aceh.