Menanggapi pernyataan Kementerian Ketenagakerjaan yang menyebut fenomena tersebut sebagai bentuk antusiasme, Nurhadi menyarankan agar pemerintah daerah tidak menganggap job fair sebagai rutinitas tahunan belaka.
“Ini bukan sekadar event, tapi refleksi dari persoalan ketenagakerjaan yang serius. Jangan sampai job fair hanya menjadi simbol tanpa solusi,” ucap anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI itu.
Ia juga menyoroti peran sektor industri, khususnya di kawasan Bekasi yang merupakan pusat manufaktur besar di Asia Tenggara. Menurutnya, perusahaan-perusahaan yang mendapat berbagai kemudahan dari keberadaan di kawasan industri seharusnya lebih aktif menyerap tenaga kerja lokal.
“Pemerintah perlu membuat regulasi yang mengikat agar korporasi ikut bertanggung jawab atas penyediaan lapangan kerja di daerahnya,” tegasnya.
Nurhadi menyarankan agar penyelenggaraan job fair ke depan dilakukan secara tersebar di beberapa titik kecamatan atau zona industri untuk menghindari penumpukan massa. Ia juga mendorong pemanfaatan platform digital secara optimal agar pencari kerja dapat mengakses informasi secara daring.
Selain itu, ia menekankan perlunya evaluasi mendalam terhadap kesesuaian antara keterampilan pencari kerja dan kebutuhan industri. Ketimpangan ini, menurutnya, hanya bisa diatasi dengan peningkatan pelatihan vokasional dan sinergi lebih erat antara pemerintah, dunia pendidikan, dan pelaku usaha.
“Jangan sampai kita membiarkan ribuan orang berdesakan hanya untuk memindai satu kode QR. Ini bukan hanya soal teknis, tapi soal martabat manusia,” tuturnya.
Nurhadi menutup pernyataannya dengan menyerukan perlunya perencanaan yang lebih adil, berbasis data, dan berpihak pada rakyat. “Dengan angka pengangguran yang masih tinggi, kita tidak bisa mengabaikan isyarat sosial seperti ini. Job fair harus menjadi jalan keluar, bukan sekadar seremoni yang menambah frustrasi,” pungkasnya.
