Kedua, sistem antrean haji di Indonesia yang bisa mencapai puluhan tahun turut mendorong warga mencari jalur alternatif.
“Di beberapa wilayah seperti Bantaeng, masa tunggunya bisa tembus 49 tahun. Ini membuat orang kehilangan rasionalitas dan lebih mudah terpengaruh rayuan jalan cepat,” imbuhnya.
Maman menambahkan, rendahnya pemahaman masyarakat tentang prosedur resmi berhaji menjadi celah besar bagi penyedia jasa ilegal. Ia menyayangkan kurangnya edukasi dari pemerintah tentang pentingnya visa haji yang sah.
“Ada celah besar dalam edukasi. Banyak masyarakat belum memahami bahwa haji harus melalui sistem resmi dan visa yang sesuai. Ini yang harus diperkuat,” ujarnya.
Menurutnya, korban dari praktik haji non-prosedural sudah banyak. Dari yang terlantar di Arab Saudi, ditolak masuk di bandara, hingga dijebak menggunakan visa kerja yang tak sesuai aturan.
Maman pun mendesak Kementerian Agama, Kemenkumham, hingga aparat kepolisian memperketat pengawasan dan menindak travel haji nakal secara hukum.
“Jangan biarkan ini terus berulang. Negara harus hadir menindak travel yang menjual janji palsu, dan mengejar aktor-aktor di baliknya,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa ibadah haji adalah perjalanan spiritual yang mulia dan seharusnya dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang benar.
“Ini bukan soal administratif semata. Ini soal keimanan. Jangan sampai masyarakat dirugikan secara ekonomi dan spiritual karena tergiur iming-iming berangkat cepat,” tutupnya.