Kasus Anggota Jadi Cermin Kegagalan Sistemik
Sudding merujuk pada kasus-kasus yang menyeret nama anggota Polri, seperti yang terjadi di Ngada, sebagai indikator adanya celah serius dalam sistem pembinaan personel. Ia menilai, semakin seringnya oknum polisi terlibat pelanggaran hukum menunjukkan bahwa persoalan bukan hanya pada individu, tetapi juga pada sistem pendidikan internal yang belum menyentuh akar masalah.
“Kalau masih banyak aparat yang terlibat pelanggaran, kita perlu bertanya: apa yang kurang dalam pendidikan dan pelatihannya? Jangan-jangan bukan hanya durasi, tapi pendekatannya yang belum menyentuh sisi moral dan kepemimpinan,” kritiknya.
Pendidikan Awal & Pengembangan: Dua Pilar yang Tak Bisa Dilemahkan
Dalam pandangan Sudding, pendidikan calon Bhayangkara terbagi atas dua fase krusial: fase pembentukan dan fase pengembangan. Dan di antara keduanya, fase awal adalah titik kritis. Ia menyayangkan jika hanya karena alasan efisiensi anggaran, aspek pembentukan karakter harus diringkas.
“Justru pada saat sekolah itulah masa-masa paling menentukan. Kalau masa itu dipangkas, bagaimana bisa kita berharap mereka akan tumbuh jadi pemimpin yang tangguh, berintegritas, dan beretika?” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa efisiensi birokrasi atau anggaran tidak boleh menjadi dalih untuk melemahkan pembentukan kualitas sumber daya manusia di tubuh Polri, yang ke depan akan berada di garis depan penegakan hukum, keamanan, dan kepercayaan publik.
“Bangsa ini sedang membangun kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara, termasuk Polri. Maka pendidikan Polri bukan ruang efisiensi, tapi ruang investasi jangka panjang,” tutupnya.