BAKN tengah mendalami efektivitas penyaluran subsidi pupuk, terutama dari sisi validitas data RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) dan mekanisme distribusi di lapangan. Herman menilai distribusi yang tidak tepat waktu atau jumlah dapat merusak target produktivitas pertanian nasional.
“Kalau pupuk tidak datang tepat waktu, petani rugi, panen terganggu, dan kita gagal swasembada. Ini bukan soal teknis semata, tapi menyangkut hajat hidup petani kita,” katanya.
Di sisi lain, Herman mengapresiasi langkah digitalisasi yang dilakukan PT Pupuk Indonesia melalui pembangunan Command Center untuk memantau jalur distribusi. Namun, ia menilai sistem ini masih perlu ditingkatkan agar mampu mendeteksi anomali harga maupun kelangkaan secara real-time.
“Transparansi distribusi harus berbasis data dan bisa diakses instansi pengawas. Jangan sampai sistem canggih tapi praktik di lapangan masih gelap,” ujarnya.
Tak hanya aspek distribusi, BAKN juga menyoroti kondisi fisik pabrik pupuk yang sebagian besar telah berusia di atas tiga dekade. Herman menyebut modernisasi teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan efisiensi produksi sekaligus mengurangi potensi kebocoran gas dan energi.
“Teknologi lama itu boros dan mahal dalam jangka panjang. Pemerintah perlu menyusun skema pendanaan agar transformasi ini berjalan, karena revitalisasi pabrik memerlukan anggaran besar tapi hasilnya sangat signifikan,” jelasnya.
Dengan estimasi kebutuhan investasi sekitar Rp116 triliun untuk revitalisasi, Herman menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, DPR, dan BUMN agar sektor pupuk mampu menopang produktivitas pertanian secara berkelanjutan.
“Pupuk itu bukan sekadar barang subsidi, tapi bagian dari sistem kedaulatan pangan kita. Semua pihak harus duduk bersama membenahi dari hulu ke hilir,” pungkasnya.