TajukNasional Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf, menyerukan kepada pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pos anggaran pendidikan yang selama ini terfragmentasi di berbagai kementerian dan lembaga. Dalam pandangannya, anggaran pendidikan seharusnya dikelola secara terpusat di Kementerian Pendidikan, sehingga kualitas layanan pendidikan, termasuk kesejahteraan para guru, dapat dimaksimalkan.
Dalam keterangannya di Jakarta pada Jumat (18/10), Dede menegaskan bahwa amanat konstitusi dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan bahwa anggaran pendidikan tidak boleh dialokasikan untuk kementerian atau lembaga pendidikan kedinasan. Namun, kenyataannya menunjukkan bahwa Rp147 triliun dari total anggaran pendidikan masih digunakan untuk kepentingan pendidikan kedinasan, sementara anggaran untuk Kementerian Pendidikan sendiri hanya sebesar Rp90 triliun. “Artinya, ada ketidakseimbangan yang sangat jelas,” ungkapnya.
Dede berpendapat bahwa dengan menyatukan pos anggaran dalam satu kementerian, pengawasan terhadap penggunaan dana pendidikan akan lebih efisien dan terarah. Hal ini penting agar jika ada permasalahan, seperti yang terjadi tahun lalu ketika anggaran pendidikan tidak terserap dengan baik, bisa segera diatasi. “Kita perlu fokus pada amanat konstitusi, yang seharusnya menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan,” lanjutnya.
Selain itu, Dede menggarisbawahi pentingnya sistem penganggaran yang terintegrasi untuk mengatasi berbagai masalah yang masih menghambat sektor pendidikan. Salah satu isu utama adalah kesejahteraan guru, yang berperan krusial dalam menciptakan lingkungan belajar yang berkualitas bagi siswa. “Jika anggaran pendidikan diatur dalam satu pintu, kita bisa lebih mudah memantau kebutuhan guru dan meningkatkan kesejahteraan mereka,” ujarnya.
Dede kemudian menyoroti kisah nyata Alvi Noviardi, seorang guru honorer asal Sukabumi yang terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan memulung setelah mengajar. Alvi telah melakukan pekerjaan ini selama 36 tahun demi memenuhi kebutuhan hidup. “Kisahnya mencerminkan tantangan yang dihadapi ribuan guru honorer di Indonesia,” kata Dede.
Dia menegaskan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kesejahteraan para guru, termasuk mereka yang berstatus honorer. “Kisah guru Alvi ini menunjukkan potret buruk penghargaan negara terhadap tenaga pendidik. Pemerintah perlu meninjau kembali struktur upah bagi guru honorer dan menetapkan standar gaji minimum yang layak,” tegasnya.
Dede berharap agar pemerintah dapat segera mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kesejahteraan guru, terutama guru honorer. Meskipun mereka berstatus sebagai pegawai harian lepas, beban kerja mereka tidak kalah berat dibandingkan dengan guru ASN. “Guru honorer berhak mendapatkan penghasilan yang layak, jaminan sosial, perlindungan kerja, serta akses yang adil terhadap pelatihan dan pengembangan profesional,” pungkasnya.
Dengan adanya langkah-langkah ini, diharapkan kesejahteraan para guru, khususnya yang berstatus honorer, dapat terwujud, dan kualitas pendidikan di Indonesia dapat meningkat secara signifikan.