Jumat, 23 Mei, 2025

Dit Reskrimsus Polda Jateng Tangkap Produsen Pupuk Gunakan Kencing Kelinci, Pengamat: Akibat Harga Pupuk Super Mahal

TajukPolitik – Pengamat kebijakan publik, Gigin Praginanto menanggapi kasus produsen pupuk yang ditangkap Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Jawa Tengah karena memproduksi pupuk dengan bahan campuran air kencing kelinci.

Menurut Gigin hal tersebut terjadi karena mahalnya harga pupuk yang kerap hilang dari pasar.

“Akibat harga pupuk super mahal dan kerap menghilang dari pasar. Pemerintah sampai sekarang cuma janji akan meningkatkan impor pupuk untuk memenuhi kebutuhan petani,” tutur Gigin dalam akun twitter pribadinya yang dikutip tajuknasional.com, Senin (13/3).

Tersangka kasus tersebut bernama Ahmad Slamet Jayadi itu sudah memproduksi pupuk tanpa izin edar tersebut sejak tahun 2009.

Ahmad mengatakan awalnya ia bekerja di pabrik pupuk di daerah Jepara, setelah mengetahui cara pembuatan pupuk, ia coba mempraktikannya. Akhir 2009 lalu Ahmad mmembuat home industry pupuk NKCL merek Fortan di Desa Krasak, Pecangaan, Jepara dibantu lima karyawannya.

“Sudah sejak akhir 2009. Karyawan ada lima. Dulunya saya kerja di pabrik pupuk,” kata Ahmad di kantor Dit Reskrimsus Polda Jateng, Jalan Sukun Raya, Semarang, Senin (4/5).

Dalam sekali produksi pembuatan pupuk, tersangka mencampur bahan garam lokal 9 kuintal, garam impor 7 kuintal, kalium 4 kuintal, zat pewarna 1,5 kg, dan air kencing kelinci 20 liter.

“Sehari produksi itu hasilnya bisa 40 karung,” tandasnya.

Pemakaian kencing kelinci, lanjut Ahmad, sebagai pengganti natrium dan menimbulkan aroma menyengat layaknya natrium sehingga semakin mirip pupuk NKCL ber-SNI. Harganya pun jauh lebih murah yaitu 16 ribu per liter, sedangkan natrium bisa jauh lebih mahal.

“Beli dari peternak di Jepara. Kelinci itu tidak minum tapi makannya wortel dan tanaman basah, kencingnya lebih manjur,” tandas Ahmad.

“Yang beli kebanyakan petani bawang sama padi,” imbuhnya.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng, Kombes Pol Edhy Moestofa mengatakan pelaku sudah mulai berproduksi sejak enam tahun lalu. Omzet mencapai Rp 65 juta per bulan dengan keuntungan kotor Rp 20 juta.

“Harganya jauh lebih murah dari yang sudah SNI. Dia per sak 50 kg seharga Rp 80 ribu, yang sudah SNI Rp 300 ribu. Daerah pemasaran di Demak dan Sragen,” terang Edhy.

- Advertisement -spot_imgspot_img
Berita Terbaru
- Advertisement -spot_img
Berita Lainnya
Rekomendasi Untuk Anda
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini