Ledakan itu bukan hanya memusnahkan amunisi tua, tapi juga mengubah hidup Ilman. Potongan tubuh dan serpihan kulit manusia terbang ke segala arah. Sebagian bahkan jatuh di dekatnya.
“Saya takut sekali. Saya lihat tubuh korban di pesisir. Saya hanya bisa jalan… seperti tidak menginjak tanah, saya seperti melayang,” ucap Ilman lirih.
Dalam keadaan panik, ia berlari ke arah parkiran mobil. Harapannya satu: ada teman yang selamat. Tapi harapan itu pupus. “Semuanya tidak ada. Termasuk A Iyus,” katanya sambil menangis.
Setelah berhasil menjauh dari lokasi, Ilman akhirnya minta pertolongan warga. Tubuhnya masih utuh, tapi jiwanya remuk.
Pascakejadian, Dinas PPKBPPPA Garut mengerahkan tim trauma healing. Kepala dinas, Yayan Waryana, menyatakan bahwa pendampingan psikologis akan segera dilakukan, terutama bagi keluarga korban dan dua penyintas.
“Kami turunkan 9 orang. Kami dampingi agar keluarga korban bisa pulih dari trauma mendalam,” ujarnya.
Ilmansyah kini masih terguncang. Setiap kali melihat seseorang menangis, ia mengaku ikut merasa sesak.
“Saya masih syok kalau lihat orang sedih. Semua kejadian itu belum hilang dari kepala saya.”
Tragedi ini bukan hanya soal kelalaian prosedur militer atau ledakan teknis. Ini adalah kisah duka manusia, tentang seorang adik yang selamat karena sedang mengambil air laut, sementara sang kakak—yang tetap tinggal di lokasi—harus pulang dalam kondisi tak utuh.
Dan kini, Ilman berjalan sendirian, dengan luka yang tak terlihat, tapi terasa di setiap langkahnya.