“Jadi bukan mulung, kami enggak datang cari-cari besi. Kami datang karena kerja,” ujarnya, menolak keras label yang mulai menyebar di media sosial maupun sebagian pemberitaan.
Namun narasi berbeda datang dari Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, yang menyebut kehadiran warga sipil di sekitar lokasi diduga berkaitan dengan kebiasaan mencari serpihan logam setelah peledakan.
“Itu kebiasaan yang terjadi, masyarakat mendekat setelah peledakan untuk mengambil sisa logam, tembaga, atau besi dari munisi,” kata Kristomei.
Pernyataan tersebut memperkuat persepsi bahwa keterlibatan warga terjadi secara informal dan berisiko, bahkan tanpa izin.
Namun kesaksian warga seperti Agus mencoba menggeser sorotan: bukan sekadar warga yang iseng datang, tetapi para pekerja lepas yang terlibat dalam rangkaian proses yang—menurut mereka—diatur dan diketahui oleh pihak militer.
Agus juga mengklarifikasi video viral yang menunjukkan sejumlah pemotor mendekati lokasi pasca-ledakan. Menurutnya, kejadian tersebut memang terjadi di hari yang sama, namun pada momen berbeda dari ledakan yang menewaskan belasan orang itu.
“Itu (video) sebelum kejadian besar. Memang ada warga yang cari sisa logam, tapi itu setelah peledakan pertama. Setelah itu, TNI kembali meledakkan detonator, dan itulah yang bikin semua orang tewas,” jelasnya.
Artinya, ada dua fase dalam satu hari itu: pertama, peledakan awal yang dianggap telah selesai dan membuat warga mendekat; lalu peledakan kedua yang ternyata membawa maut.
Ledakan tersebut kini menewaskan 13 orang, terdiri dari 4 anggota TNI dan 9 warga sipil. TNI menyatakan tengah melakukan investigasi, termasuk soal mengapa warga bisa berada sedekat itu dengan lokasi pemusnahan amunisi aktif.
“Itu yang sedang kami dalami, kenapa bisa sampai ada warga sipil begitu dekat,” ujar Brigjen Wahyu Yudhayana, Kepala Dinas Penerangan TNI AD.
Sementara itu, di Garut, para keluarga korban masih menunggu jawaban. Bagi mereka, ini bukan soal prosedur semata, tapi hak atas kejelasan nasib dan kebenaran status: apakah orang-orang tercinta mereka pekerja sah yang tewas dalam tugas—atau hanya dianggap pengganggu yang keliru masuk zona berbahaya?
Di antara lubang-lubang bekas ledakan dan serpihan peluru, kini tersisa satu pernyataan yang menggema dari mulut Agus dan warga lainnya:
“Kami bekerja, bukan mengemis serpihan.”