Lagu ini pertama kali disusun oleh Gerald Situmorang, yang telah merancang komposisinya sebelum workshop dimulai.
Namun, saat pertama mendengarnya, para personel sempat merasa ragu karena nuansa lagu dinilai cukup jauh dari gaya khas Barasuara.
“Eksplorasinya agak sulit di awal, karena saya enggak merasa lagu itu cocok untuk Barasuara. Tapi justru itu menarik karena kami selalu terbuka untuk mencoba sesuatu yang baru,” ujar Marco Steffiano, drummer Barasuara.
Yang membuat lagu ini makin istimewa adalah hadirnya Asteriska atau yang akrab disapa Icil sebagai penulis lirik.
Lirik ciptaannya membawa kedalaman emosi yang tak terduga. Bahkan, menurut para personel, lagu ini membuat banyak orang di sekitar mereka termasuk tim produksi, menitikkan air mata.
“Enggak tahu kenapa, lagu ini bikin merinding, sedih, dan mata jadi basah pas dengar. Saya langsung teringat kedua orang tua saya yang sudah tiada. Kami dulu saling menyayangi, dan rasa itu langsung muncul saat dengar lagu ini,” kata TJ Kusuma, gitaris Barasuara.
Melanjutkan pendekatan megah seperti yang mereka lakukan dalam lagu “Merayakan Fana”, Barasuara kembali menggandeng Erwin Gutawa untuk menghadirkan sentuhan orkestra dalam “Terbuang Dalam Waktu”.
Kehadiran aransemen orkestra ini menambah lapisan emosional sekaligus memperkuat atmosfer megah pada lagu tersebut.
“Terbuang Dalam Waktu” bukan hanya sebuah lagu, ia menjadi refleksi dari perjalanan, keberanian bereksplorasi, dan kedewasaan bermusik Barasuara.
Lagu ini membuka babak baru dalam diskografi mereka, tanpa kehilangan esensi yang telah membuat mereka dicintai banyak pendengar.
Baca dan Ikuti Media Sosial Tajuk Nasional, KLIK DISINI
