Adi Sulistiyo
Pegiat Pendidikan & Budaya
Isu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN) kembali menjadi sorotan utama media. Lonjakan besaran UKT yang mencapai puluhan persen dibandingkan tahun sebelumnya telah menimbulkan pertanyaan mengenai alasan di balik kenaikan tersebut.
Kenaikan tersebut terkait dengan keinginan sejumlah PTN untuk beralih status kelembagaan menjadi badan hukum. Badan hukum memberikan otonomi tambahan di bidang akademik dan nonakademik, termasuk hak untuk menetapkan besaran penghasilan sendiri atau remunerasi tanpa campur tangan eksternal.
Polemik kenaikan UKT menghasilkan dua pendapat utama: dari perspektif kampus, kenaikan tersebut terkait dengan kesejahteraan tenaga pendidik; sedangkan dari sudut pandang mahasiswa, kenaikan itu menjadi beban tambahan bagi orang tua mereka.
Namun, ada kebutuhan untuk menemukan titik temu antara dua perspektif ini. Pertanyaannya, apakah ada cara untuk memenuhi kepentingan keduanya? Tentu saja ada.
Memberikan penghasilan yang layak bagi pendidik sambil mengendalikan kenaikan UKT adalah hal yang mungkin dilakukan. Penyatuan dua pendapat ini bisa dilakukan melalui kajian mendalam tentang masalah aset dan struktur belanja di PTN.
Aset menjadi fokus utama dalam kajian tersebut. Aset bisa menjadi beban atau sumber pendapatan. Bagi sebagian PTN, aset yang dimiliki, terutama tanah, menjadi beban berat.
PTN memiliki luas tanah yang signifikan, yang memungkinkan berbagai fasilitas tambahan, seperti taman dan kolam. Namun, memelihara fasilitas ini membutuhkan biaya tambahan.
Maka, diperlukan pemberdayaan aset agar beban operasional tidak dialihkan kepada mahasiswa melalui UKT. Hal ini bisa dilakukan dengan mencari mitra kerja sama untuk mengelola lahan PTN, sehingga aset dapat menghasilkan pendapatan untuk menutup biaya operasionalnya.
Permasalahan lain terkait dengan struktur belanja di PTN. Biasanya, sekitar 40% pendapatan dialokasikan untuk remunerasi, dan 60% untuk operasional dan pengembangan layanan.
Untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik, beberapa alternatif dapat dipertimbangkan, seperti menaikkan pendapatan PTN, mengalokasikan lebih dari 40% untuk remunerasi, atau merestrukturisasi pegawai.
Namun, setiap alternatif memiliki tantangan tersendiri. Menaikkan UKT bisa menimbulkan ketidakpuasan di kalangan mahasiswa, sementara menambah kelas baru akan menambah biaya operasional. Mengalokasikan lebih dari 40% untuk remunerasi bisa mengurangi belanja operasional, tetapi dapat mempengaruhi kualitas layanan.
Restrukturisasi pegawai, khususnya non-pendidik, juga bisa menjadi solusi, tetapi hal ini sulit dilakukan karena faktor “perasaan” yang terlibat.
Sebagai alternatif, pengembangan sistem informasi terintegrasi dapat membantu mengurangi biaya operasional dan meningkatkan efisiensi. Hal ini bisa menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik tanpa mengorbankan kualitas layanan.
Diperlukan pula pemahaman terhadap struktur biaya pada PTN dan pertimbangan mengenai mana yang penting dan mendesak serta mana yang bisa ditunda atau ditingkatkan efisiensinya. Hal ini bertujuan agar PTN dapat menjadi institusi yang mengayomi semua pihak, baik mahasiswa maupun tenaga pendidik.