Sabtu, 20 Desember, 2025

STOP Fitnah: Meluruskan Interpretasi Data Walhi dan Auriga Terkait Pengelolaan Sumber Daya Hutan selama Periode 2004-2014

1. Terbitnya Undang-Undang Minerba 2009 — transformasi tata kelola tambang nasional, UU No. 4/2009 mengakhiri era Kontrak Karya/KP dan menggantinya dengan IUP berbasis pemerintah daerah & pusat. Terbitnya UU ini berdampak positif dalam memperkuat kedaulatan negara dalam pengelolaan minerba dan meningkatkan pendapatan negara dan memberikan ruang bagi pelaku domestik (BUMN/BUMD/daerah).

2. Produksi minerba meningkat mendorong pertumbuhan ekonomi, ditandai dengan meningkatnya produksi batubara dengan pesat, sehingga membuat Indonesia masuk top 3 eksportir dunia. Produksi nikel, bauksit, dan emas meningkat, dan tentu saja penerimaan negara dari sektor minerba naik signifikan. Dampak ekonomi dari program ini adalah kontribusi terhadap 6%–7% pertumbuhan ekonomi nasional, peningkatan ekspor & surplus perdagangan, dan penyerapan tenaga kerja di provinsi pertambangan.

3. Mulai menata hilirisasi (awal kebijakan) larangan ekspor bahan mentah sebagai pondasi hilirisasi dibuat di masa SBY dengan disusunnya rencana larangan ekspor bijih bauksit & nikel (2009–2014), pembangunan smelter mulai berjalan, investasi mineral processing meningkat. Dampak yang nyata terlihat adalah menjadi tonggak awal transformasi struktur ekonomi nasional, mendorong pembangunan industri dasar, dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.

4. Penataan ribuan izin tambang (IUP) melalui proses Clear & Clean, KPK & KESDM menemukan 4.000 IUP bermasalah. Di masa tahun 2013–2014 proses CnC menertibkan izin tumpang tindih, non-clean, dan ilegal. Dampak terhadap tata kelola adalah memperbaiki kualitas perizinan, meningkatkan kepatuhan pajak & PNBP, dan mempersempit ruang tambang illegal.

5. PNBP Minerba melonjak signifikan — kontribusi besar bagi APBN, Penerimaan negara dari sektor minerba (royalti, PNBP, pajak) naik signifikan sepanjang 10 tahun era SBY. Dampak fiskal: memperkuat kemampuan fiskal negara,memperbaiki keseimbangan APBN, dan mendukung pembangunan infrastruktur & layanan publik.

Membaca data dan fakta dari berbagai sumber, apalagi di era digital dan internet saat ini sangat mudah. Namun, ketelitian, kecermatan, pengalaman dan kesadaran dalam menerjemahkan data tersebut memerlukan modal dan kecerdasan tersendiri. Dari uraian yang lumayan panjang ini, ijinkan saya menyimpulkan bahwa, selama periode 2004-2014, Kepresidenan SBY memimpin Negeri Indonesia ini, berikut adalah empat hal keberhasilan Makro & Strategis Era SBY (hutan + minerba):

Pertama, “Keseimbangan antara perlindungan & konservasi hutan dengan pertumbuhan ekonomi”. Pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 6% disisi lain terjadi penurunan tren deforestasi dan kebakaran hutan. Saya yakin, hal ini jarang terjadi di negara berkembang.

Kedua, “Mendorong posisi Indonesia dalam diplomasi lingkungan global”. Indonesia menjadi negosiator kunci UNFCCC dan memberikan contoh dengan menyatakan komitmen penurunan emisi 26% atas upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Dan tentu saja, penanda penting dari komitmen SBY adalah berdiri dan beroperasinya pusat kajian iklim & REDD+ tingkat nasional dan beberapa di tingkat provinsi.

Ketiga, “Meningkatkan pendapatan daerah penghasil SDA”. Meningkatnya Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba dan perluasan izin kehutanan produktif, pembangunan infrastruktur di daerah tambang & hutan. Sehingga daerah seperti Kaltim, Riau, Jambi, Sulsel, Papua mengalami peningkatan fiskal.

Keempat, “Stabilitas ekonomi nasional tumbuh kuat”, ekspor tambang dan ekspor hasil hutan (pulp, paper, CPO) meningkat, tumbuh dan menguatnya industri berbasis pengolahan SDA. Di ujung masa kepemimpinan Presiden SBY, pertumbuhan ekonomi rata-rata 6%, salah satu tertinggi sejak era Orde Baru.

*Gambar 2 Data foto Presiden dan angka logging, kebun kayu, sawit dan ijin tambang periode 2004-2014 yang TIDAK VALID*

Demikian ringkasan perjalanan pemikiran dan data kita kembali ke masa dua puluh tahun lampau. Dalam tulisan ini saya tutup dengan kutipan, “Dirimu adalah apa yang kamu baca”. Ketika membaca hal tak berdasar atau salah menerjemahkan data, lalu menjadi bahan tulisan, maka keduanya tak diragukan akan memproduksi kesalahan. Itulah kiranya, hikmah yang bisa saya petik. Untuk mencegah ke-chaos-an karena salah menafsirkan data, maka saya menghimbau agar dalam membaca lalu menyimpulkan rangkaian suatu data kita perlu juga punya pemahaman konteks lini masa dan rangkaian kejadian-kejadian selama periode tersebut. Semoga kita terhindar dari kesalahan diri sendiri, marilah kita bijak dalam dalam menerjemahkan tabel dan data numerik yang tervalidasi dan terpublikasi.

Semoga kesejahteraan dan kemajuan, serta kebaikan dan rahmat Allah SWT, Tuhan YM Kuasa, selalu menyertai perjalanan Bangsa Indonesia.

Tabik, Dr H. Irwan, SIP, MP

- Advertisement -spot_imgspot_img
Berita Terbaru
- Advertisement -spot_img
Berita Lainnya
Rekomendasi Untuk Anda
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini