Kamis, 6 Februari, 2025

Proporsional Tertutup dan Posisi Caleg Millenial

Oleh Rismayanti Borthon

Salah satu sistem dalam pemilihan umum adalah sistem proporsional. Sistem proporsional adalah sistem di mana satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil. Dalam sistem proporsional, ada kemungkinan penggabungan partai atau koalisi untuk memperoleh kursi yang disebut juga sistem perwakilan berimbang atau multi member constituenty.

Terdapat dua jenis sistem di dalam sistem proporsional yaitu sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup. Dimana system proporsional terbuka telah diterapkan sejak pemilu 2009. Namun kini, diskursus publik tentang sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup masih menyisakan perdebatan di ruang publik. Dimana 2024 adalah momentum emas dengan potensi pemilih pemula yang mendominasi mata pilih. Sehingga peluang ini dapat dimaksimalkan untuk mendulang suara bagi caleg-caleg muda.

Namun, ketika pemerintah mengembalikan proporsional terbuka menjadi kembali tertutup, maka sistem ini hanya akan melibatkan partisipasi penuh partai politik dalam menentukan kandidat layak sebagai wakil rakyat, yang tentu preferensinya “abu-abu”.

Saya akan menguraikan sedikit tentang posisi caleg millennial dalam proporsional tertutup:

Pertama, Peluang yang semakin kecil. Mengapa? mari bertaruh bahwa hingga kini case diskriminasi pada caleg muda “tanpa privilege” masih dominan dialami. Dianggap tidak berpengalaman, hanya dijadikan pelengkap, dianggap tidak akan menang dan berakhir caleg muda hanya dijadikan vote getter untuk partai politik. Atau bahkan, sering disingkirkan dari bursa pendaftaran bacaleg meski yang bersangkutan adalah kader partai.

Hal-hal tersebut diatas terjadi jika proporsional dilakukan secara terbuka. Lalu bagaimana jika dilakukan proporsional tertutup? Dimana posisi caleg millennial?

Dua kata yang bisa saya sampaikan, lebih mengkhawatirkan.

Seperti yang kita ketahui, sistem proporsional tertutup menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya di lembaga legislatif. Maka keputusan mutlak ada pada pimpinan partai.

Dengan diskriminasi yang selama ini dialami oleh caleg millennial “tanpa privilege”, tentu peluang dipilih oleh partai kian menipis, karena partai akan mempertimbangkan incumbent, atau siapa saja yang dianggap layak oleh partai dengan “preferensi abu-abu” tadi untuk dimenangkan.

Inilah alasan pertama mengapa caleg millennial “tanpa privilege” harus menolak proporsional tertutup, karena caleg millennial “tanpa privilege” bukan anak kepala daerah, bukan keluarga petinggi partai, bukan anak bangsawan, bukan anak pengusaha terkemuka. Satu-satunya peluang adalah bertarung gagasan didapil secara terbuka tidak peduli berapa nomor urut yang didapatkan.

Kedua, proporsional tertutup sama sekali tidak menghapus tren politik uang. Great! Jika ada yang gembar-gembor mengatakan pemilu tertutup dapat menghilangkan ‘money politik’ saran saya gausah didengerin!

Mengapa? Proposional tertutup hanya memindahkan konsep politik uang, yang mulanya dari kandidat kepada mata pilih kini alurnya dirubah dari kandidat ke partai politik. Karena nomor urutlah yang menjadi penentu calon anggota legislative dimenangkan partai. Maka transaksi nomor urut akan terjadi secara terstruktur, sistematis dan massive.

Hal ini akan membuat siapapun dengan kemampuan finansial besar dan relasi baik dengan struktural partai untuk jor-joran demi nomor urut terdepan. Karena sudah pasti akan dimenangkan. Tanpa perlu pusing lagi menyusun strategi kampanye didapil, distribusi anggaran untuk kampanye, merekrut tim sukses, pencitraan, membuang energy untuk mengunjungi dapil dan lain-lain. Semua dipangkas dimeja pimpinan partai. Nomor piro, wani piro!

Lalu kembali pada case caleg millennial, sederhana: silahkan anda merefleksikan diri seberapa besar kemampuan finansial , relasi politik dan kelayakan anda berdasarkan “preferensi abu-abu” tadi untuk masuk bursa nomor urut terdepan. Bukankah Sangat mengkhawatirkan? Hehe..

Ketiga, seperti yang sudah saya jelaskan diatas, bahwa faktor penentu anggota legislative bisa duduk adalah vote dari partai politik. Dengan ini, tentu kandidat hanya akan membangun relasi dengan parpol bukan dengan dapil. Yang kemudian, berpotensi menghilangkan tanggung jawab anggota legislative terpilih pada rakyat didapil karena tidak merasa dipilih oleh rakyat. Tidak ada beban dari janji politik dan tidak ada hubungan emosional yang terbangun antara rakyat dan wakil rakyat, karena interaksi politik hanya terjadi pada kandidat dan parpol.

Sementara bagi caleg millennial salah satu peluang besar adalah adu gagasan, konsep, strategi pemilu yang fresh dimedan dapil. Namun, jika proporsional tertutup berlaku tentu peluang ini ambyar!.

Keempat, kita tau bahwa sebagian besar partai politik masih kewalahan dalam kaderisasi, sehingga tak jarang dalam merekrut bacaleg terkesan asal, hanya demi memenuhi kuota pendaftaran. Faktornya adalah karena minimnya kader dilevel daerah. Jika proporsional dilakukan secara tertutup hal ini akan semakin parah lagi, sebab nomor 3 dan seterusnya hanya pelengkap kuota, ditempatkan tanpa standard kualifikasi. Yang diantaranya adalah caleg millennial. Praktis, pelengkap!.

Tapi bagi mereka yang menyuarakan proporsional dilakukan tertutup tentu memiliki alasan, tapi apapun itu bagi saya tetap konyol. Sebab proporsional tertutup mendegradasi kemajuan demokrasi diabad ini. Untuk itu, Bagi partai politik yang menginginkan kolaborasi dengan rakyat tentu gagasan ini tidak masuk akal. Dimana pemilu adalah instrument demokrasi yang semestinya dikembalikan pada kepentingan tertinggi, yakni rakyat.

- Advertisement -spot_imgspot_img
Berita Terbaru
- Advertisement -spot_img
Berita Lainnya
Rekomendasi Untuk Anda
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini