Dialog yang setara antara pemerintah pusat dan masyarakat Tanah Papua itu memiliki prasyarat yang wajib dipenuhi, diantaranya:
Pertama, Jakarta menempatkan Tanah Papua sebagai entitas “Provinsi Istimewa”. Sebab definisi “provinsi khusus” yang diberikan sejak reformasi melalui UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua, tidak lagi memiliki “standing” yang dapat mendukung upaya penyelesaian konflik di Tanah Papua.
Otsus Papua telah kehilangan “pijakan” di Tanah Papua. Rakyat di Tanah Papua telah kehilangan “trust” terhadap konsep Otsus yang hanya menjadi sekadar “stempel otoritatif” Pemerintah Pusat. Sedangkan substansinya dipandang “tidak dapat menegakkan keadilan dan kesejahteraan” di Tanah Papua.
Kedua, Daerah Istimewa Tanah Papua, harus diwujudkan ke dalam bentuk penguatan “elemen lokal” dalam pelaksanaan pranata kehidupan bernegara dan segala bentuk implikasi yang lahir dari proses bernegara (politik, keamanan, investasi, sosial-budaya, dan sebagainya).
Ketiga, Daerah Istimewa Tanah Papua dalam peran politik ketatanegaraan, harus membuka ruang bagi terbentuknya partai lokal “partai daerah”, sehingga rakyat Papua dapat merepresentasikan peran politiknya secara bebas dan terlibat secara nyata mendorong pembangunan di Tanah Papua.
Makna terpenting dari “keistimewaan” Tanah Papua tersebut adalah menjadikan putra-putri Orang Asli Papua (OAP) sebagai tuan atas pikiran, ide, gagasan, kepentingan politik, bernegara, berekonomi, berbangsa, yang mengakar pada “peran nyata” OAP sebagai tuan rumah. Bukan sebagai “penonton” di luar arena pembangunan dan peran yang dimainkan dalam pranata bernegara.
Konsep dialog yang setara itu, harus diawali pada pikiran yang setara, memandang putra-putri Tanah Papua sebagai “keluarga yang harus diangkat harkat dan martabatnya, dibela dignity-nya, diperjuangkan hak-haknya”.
Bukan sekadar bersembunyi pada pasal pasal “afirmatif semu” yang pada gilirannya hanya menjadikan Tanah Papua sebagai objek dan sapi perah “eksploitasi” anggaran, proyek nasional, proyek keamanan, proyek investasi. Hal ini pada gilirannya akan terus mendorong lahirnya ketidakadilan dan friksi (konflik) yang terimplikasi dari penguasaan aset-aset vital di Tanah Papua bersama kepentingan masyarakat komunal OAP yang ikut tersingkir dan terpaksa harus menerima “stigma” sebagai kelompok “intoleran”, perusuh, teroris bersenjata. Hanya karena berusaha melindungi hak-hak kesulungan yang diwariskan oleh para leluhur di atas Tanah Papua.
Wa Wa Matur Nuwun Horas..
Oleh: Willem Wandik (Anggota DPR-RI Dapil Papua; Wakil Ketua Umum Partai Demokrat; Plt Ketua Partai Demokrat Papua)