Jumat, 22 November, 2024

Pada Partai Demokrat Sang Jenderal Berulah, Koalisi Perubahan Persatuan Dibelah, Anies Gagallah

Ulah KSP atau Kepala Staf Presiden Jenderal TNI Pur Moeldoko untuk merampok kepemimpinan di Partai Demokrat sesungguhnya telah mengalami GATOT alias Gagal Total. Dikatakan seperti itu karena upaya hukum yang diperjuangkan oleh Moeldoko sudah 16 kali dan tidak ada satupun yang memenangkan dirinya.

Bila dibuat skor ibarat perang tanding antara dua kesatria dari Kurawa dan Pandawa yaitu perang tanding antara Jendral TNI Pur Moeldoko melawan Mayor TNI Pur Agus Harimurti Yudhoyono adalah 0:16. Kesatrian Kurawa telah kalah 16 kali, bukannya secara kesatria mengakui kekalahan tapi mengajak perang tanding lagi untuk yang ke 17.

Kekalahan telak 16 kali dialami seorang Jenderal Purn yang kariernya begitu moncer ketika masih aktif di TNI, namun apa hendak dikata GATOT alias Gagal Total di hadapan seorang Mayor dengan status sama-sama purnawirawan. Sekarang Sang Jenderal ini mengajukan PK ke MA, ini artinya upaya hukum ke 17.

Langkah Moeldoko ini ibarat mendirikan benang basah, 16 kali Moeldoko kalah, amat kecil kemungkinanya ke 17 ini PK-nya diterima. Itu akan melunturkan kepercayaan rakyat pada lembaga peradilan Indonesia bila Moedoko sekarang memenangkan PK-nya saat ini. Banyak orang akan menduga ada tangan-tangan besi yang membuat MA tidak independent sehingga memenangkan Moeldoko.

Sebenarnya ada kok Jenderal TNI Purn yang sukses membuat partai, sebut saja SBY dengan Partai Demokrat dan Wiranto dengan Partai Hanura sehingga berhasil mengangkat nama mereka ke panggung perpolitikan di Indonesia.

Sang Jenderal Moeldoko lebih memilih cara lain yaitu mengkudeta kursi yang diduduki oleh AHY, anak dari orang yang pernah membesarkan dirinya. Seharusnya Moeldoko malu melakukan upaya merebut kursi kepemimpinan Partai Demokrat dari seorang Mayor bernama Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY.

Moeldoko bukan orang jauh bagi AHY dan bagi bapaknya yaitu SBY. Moledoko adalah seorang Jenderal yang pernah menjadi atasan AHY ketika masih aktif dulu. Sedangkan SBY yang menaikkan pangkat Moeldoko menjadi Jenderal dengan mengangkat Moeldoko sebagai Kepala Staf TNI AD atau Kasad sehingga berhak menyandang pangkat Jenderal atau perwira tinggi bintang 4 (empat).

Tidak lama berselang Moledoko diangkat SBY sebagai Panglima TNI pada 30 Agustus 2013. SBY selaku Presiden Republik Indonesia memberikan penghargaan yang begitu tinggi pada Moeldoko dengan menunjuknya sebagai Panglima TNI.

Benarkah Jenderal Moeldoko begitu berambisi menjadi ketua Partai Politik? Kalau benar begitu mengapa sang Jenderal begitu tega mengambilnya dari AHY dan SBY orang yang pernah membesarkannya?

Sesungguhnya bukan hal yang sulit bagi Moledoko mendirikan partai baru. Entah apa yang mengilhami atau merasuki hati nurani sang Jenderal sehingga dia begitu keras merebut kursi kepemimpinan Partai Demokrat, padahal jadi anggota Partai Demokrat saja belum, lho kok mau jadi ketua umumya?

Merunut pada masa kepresidenan Jokowi di era reformasi sesuai UUD NRI 1945 kewenangan konstitusional Presiden terbatas. Secara konstitusional power kekuasaan pemerintahan pasca Amandemen UUD 1945 lebih mengarah ke DPR. Kondisi ini menjadikan posisi Presiden Jokowi sangat lemah karena hanya didukung oleh koalisi Indonesia Hebat terdiri dari PDIP, Partai Nasdem, Partai Hanura. Partai partai lainnya seperti Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB dan Partai Golkar menjadi oposisi di DPR karena bukan dalam koalisi Indonesia Hebat pendukung Jokowi.

Untuk menguatkan posisinya di DPR, Jokowi berhasil menarik PPP, PAN dan Golkar sebagai partai pendukung pemerintahan Jokowi dan membiarkan Gerindra, Demokrat dan PKS di luar koalisinya. Beralihnya partai-partai tersebut di antaranya disebabkan dengan terbelahnya kepengurusan partai yaitu Golkar antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksano, PPP antara Djan Faridz dan Romahurmuziy yang akhirnya menjadikan Agung Laksono dan Romahurmziy sebagai ketua partai yang mendukung pemerintah.

Dengan bergabungnya PPP, PAN, dan Golkar dalam koalisi Indonesia Hebat, pemerintahan Presiden Jokowi stabil dan berlanjut pada periode kepresidenan Jokowi ke 2 hingga 2024

Menjelang Pemilu 2024 menyisakan Partai Demokrat dan PKS sebagai partai oposisi menjadi berbahaya bagi Jokowi dan kroninya dengan bergabungnya partai Nasdem menjadikan Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), maka upaya pecah belah terhadap KPP dilakukan. Segala upaya dilakukan, bila perlu tangan besi, tidak netral dan cawe-cawe.

Salah satu cara yang ampuh dan pernah berhasil dilakukan terhadap Golkar dan PPP pada tahun 2014 dengan dualisme kepemimpinan, mengesahkan Ketua Umum yang pro Jokowi. Inilah sesungguhnya yang terjadi dibalik PK Jenderal Moeldoko dalam upaya perebutan ketua umum partai Demokrat.

Dengan penjelasan di atas, maka terhadap PK Moeldoko kemungkinan yang terjadi dengan tangan besi, tidak netral dan cawe-cawe adalah Ketua Umum direbut, disahkan atau dinon-aktifkan, selanjutnya Partai Demokrat menarik diri/keluar dari KPP atau keikutsertaan Partai Demokrat pada KPP dinyatakan tidak sah karena dualisme kepengurusan.

Oleh: Setya Budi, Komunitas Penegak Keadilan (KOMPAK)

- Advertisement -spot_imgspot_img
Berita Terbaru
- Advertisement -spot_img
Berita Lainnya
Rekomendasi Untuk Anda
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini